SEJARAH

BLOG INI MENYANGKUT SEJARAH

kerajaan ottoman
Kerajaan Ottoman atau Kesultanan Turki Utsmani didirikan oleh Bani Utsman, yang selama 2 abad kekuasaannya, telah dipimpin 8 sultan, sebelum akhirnya berekspansi ke sebagian negeri Arab. Turki Utsmani sama dengan pendahulunya, seperti Turki Seljuk dan kabilah Hun. Mereka berasal dari keturunan Mongol atau Thurani, yang merambah ke Eropa di abad ke-5 Masehi. Mereka lahir dan dibesarkan di Asia Tengah dan Utara. Etnis yang sama juga dimiliki bangsa Bulgaria, yang merambah ke Eropa Timur, dan menetap di sana pada abad ke-7 dan 9 Masehi. Turki Utsmani adalah etnis Asia terakhir yang merambah dan mendiami Eropa, bahkan merupakan negara Mongol terpenting dan terkuat dalam sejarah.

Sejarah Awal dan Masa Kejayaan

Pada pertengahan abad ke-13, Turki Utsmani merupakan salah satu kabilah kecil di Asia Tengah di bawah pimpinan Ertoghul, kepala suku Turki Utsmani - menyusuri Asia Tengah, dekat Ankara. Pimpinan kabilah kecil ini berpartisipasi dalam perang antara kekaisaran Romawi dan Dinasti Seljuk Rum yang berpusat di Iconium dipimpin Sultan 'Alauddin, dan akhirnya Ertoghul dan sekutunya menang perang. Kabilah kecil dan Ertoghul inilah yang menjadi cikal bakal Turki Utsmani. Ialah bapak Utsman, yang namanya dipakai sebagai nama negara yang dibangunnya (dalam tulisan Arab ʿUthmān, عُثمَان).

Setelah Ertoghul meninggal 1288, putranya Utsmanlah yang menggantikannya. Ia dikenal sebagai pemimpin yang berani mengalahkan kabilah dan trah yang berdekatan. Inilah yang mendorong Sultan 'Alauddin mengangkatnya sebagai pemimpin dan membuatnya jadi penguasa berdiri sendiri di wilayah yang ditaklukkannya.

Tahun 1300 Mongol menyerang dan menghancurkan Kesultanan Seljuk di Asia Kecil. Sultan 'Alauddinpun meninggal dan setiap etnis bercerai berai, termasuk Utsman. Dari sanalah kekuasaannya berkembang sampai ia mendengar penaklukan Bursa, saat hendak meninggal. Utsman memberi perhatian besar pada strukturisasi tentara dan pemerintahan dan namanya dijadikan nama negara yang didirikannya.

Tahun 1326 Utsman meninggal dan digantikan putranya Ourkhan, yang berhasil mengambil alih Bursa, dan menjadikannya ibukota negara baru ini. Dengan ini ia telah mendekati ambisinya untuk menduduki Konstantinopel, ibukota Bizantium.

Sebelum perang antarpemerintahan berlangsung — yang satu negara muda, kuat dan berambisi mengembangkan kekuasaannya, yang satunya lagi negara tua yang merosot — Ourkhan menduduki Izmir lebih dulu. Ia melihat pentingnya pembenahan, yang kelak berpengaruh bagi kemenangan Turki Utsmani, pertama di Asia Kecil lalu Eropa. Ia menyerang dan merampas Nicomedia dan Nicea serta negeri Asia dan Bizantium lainnya. Selama 20 tahun, ia mengokohkan pilar pemerintahannya, memperbaiki urusan dalam negara dan membentuk angkatan bersenjata baru, yang disebut Yennisari, yang dalam waktu lama menjadi penopang kekuatan kesultanan, dalam perang dan penaklukan.

Sultan berikutnya adalah Murad I (1359-1389), ia merebut Adranah (1361), Sofia (1383), dan pada perang Kosovo 1389 mengalahkan Serbia. Ia diganti Bajazet I (1389-1403) yang menaklukkan Bulgaria, Perancis dan Jerman (1393). Tahun 1402, Timur Lenk dari Mongolia menaklukkan Ankara dan Bajazet I tertawan, namun akhirnya ia dibebaskan. Bajazet I digantikan berturut-turut oleh Suleiman I (1403-1411), Musa (1411-1413), dan Mehmed Halabi/Mehmed I (1413-1421). Mehmed I digantikan Murad II. Ia menaklukkan kembali kawasan yang ditaklukkan Timur Lenk (1422-1428) dan Albania (1431).

Setelah naik tahta tahun 1451, Mehmed II bin Murad II menaklukkan Konstantinopel (1453) dan menjadikannya negara Islam. Karena itu ia dikenal sebagai Mehmed sang Penakluk. Kota Konstantinopel dijadikan ibukota kesultanan serta jadi titik tolak rencana penaklukan Eropa, setelah terhenti akibat meninggalnya Abdurrohmanul Ghofiqi di selatan Perancis. Mehmed sang Penaklukpun menundukkan Murrah, Serbia (1458-1460) dan Bosnia (1462). Ia juga menyerang Italia, Hongaria, dan Jerman. Akhirnya Thorabzun dan Krim di Asia ditundukkannya. Ia juga menaklukkan sebagian kepulauan Yunani (1480). Iapun kembali menaklukkan Jerman dan beberapa wilayah Italia, namun akhirnya mangkat sebelum berhasil menaklukkan Rhodesia.

Ia digantikan putranya Bajazet II (1481) yang berhasil mengalahkan armada laut Bunduqiyah. Kekuasaannya diserahkan pada putranya Selim I (1512) yang oleh sebagian kalangan dipandang sebagai sultan terbesar, mendapat kemenangan dan penaklukan yang banyak. Ia menyerang kesultanan Safavid yang dipimpin Shah Ismail I (1502-1524) yang berusaha menyebarkan mazhab Syi'ah dan mengembangkan kekuasaan Persia sampai Irak. Shah Ismail dikalahkan di Galadiran, dekat Tibriz (1514). Sultan Selim I lalu menduduki Diyarbakir dan Kurdistan yang merupakan langkah awal menaklukkan Suriah dan Mesir, seiring dengan kemenangan di Maraj Dabiq (1516) dan Roidaniyah. Saat itu khilafah Islam telah berpindah ke tangannya sesuai hukum Islam setelah Kholifah al-Mutawakkil 'Alalloh III (1508-1517) menyerahkan tampuk kekhilafahan kepadanya. Sultan Salim I resmi jadi kholifah Muslimin sejak 1517. Ia meninggal setelah 8 tahun berkuasa. Syarif Makkah juga menyerahkan kunci Makkah dan Madinah kepadanya.

Setelah itu ia digantikan Kholifah Suleiman II (1520-1566). Masa kepemimpinannya dianggap sebagai era terjaya khilafah berkat kebangkitan sains yang diikuti penemuan ilmiah dan geografis Eropa, sementara khilafah ini meninggalkan negara-negara Eropa di bidang militer, sains, dan politik. Ia menaklukkan Belgrado dan Gereja terbesar di sana dialihfungsikan menjadi Masjid di mana sang kholifah mendirikan sholat Jum'at (1521). Dengan alasan untuk membebaskan diri dari pasukan Ksatria Santo Yohanes (1521) ia menaklukan Rhodesia. Buda dibuka dan Raja Louis dibunuh dalam pertempuran Mouckhaz (1526). Ia menaklukkan juga Armenia dan Irak hingga armada laut kekholifahan di seluru peraran laut mulai Laut Putih, Laut Merah hingga Samudra Hindia—meski kekuatannya belum bisa mengalahkan pasukan Ksatria St. Yohanes, penguasa Malta. Kepulauan ini adalah pemberian Charles V saat diusir tentara khilafah Turki Utsmani dari Rhodesia (1522).

Tahun 1527 Austria mengakuisisi Buda, namun akhirnya Buda ditaklukkan lagi dan Austria mundur, lalu Wina dikepung tanpa berhasil ditaklukkan (1529). Tahun 1534 Tabriz ditaklukkan lagi. Tunisia dirampas dari Spanyol dan Pulau Kreta ditaklukkan (1535). Khilafahpun berdamai dengan Austria yang setuju membayar jizyah (1539). Pest (1541), Niche (1543), Spanyol (1560), Malta (1565) dan Szeged (1566) adalah sejumlah daerah yang berhasil dirampas oleh khilafah Turki Utsmani.

Para sejarawan sepakat, zaman Suleiman II ialah zaman kebesaran dan kejayaan khilafah Turki Utsmani. Hanya dalam 3 abad, kabilah kecil ini berhasil melebarkan sayapnya dari Laut Merah, Laut Tengah dan Laut Hitam. Penaklukannya terbentang dari Mekkah hingga Buda dan Pest di satu sisi dan dari Baghdad (1534) hingga al-Jazair (1532) di sisi lain. Dua pantai, utara dan selatan, Laut Hitam berada di dalam kekuasannya. Sebagian besar kerajaan Austria dan Hongaria juga termasuk wilayah kekuasaannya. Kekuasaannya sampai di Afrika Utara dari negeri Suriah sampai Maroko. Setelah Suleiman II meninggal 1566, khilafahpun terus-menerus merosot.

Keadaan Politik Menjelang Keruntuhan

Politik di sini dibagi jadi 2. Pertama politik dalam negeri, yang maksudnya ialah penerapan hukum Islam di wilayahnya; mengatur mu'amalat, menegakkan hudud dan sanksi hukum, menjaga akhlak, mengurus urusan rakyat sesuai hukum Islam, menjamin pelaksanaan syi'ar dan ibadah. Semua ini dilaksanakan dengan tatacara Islam.

Ada 2 faktor yang membuat khilafah Turki Utsmani mundur. Pertama, buruknya pemahaman Islam. Kedua, salah menerapkan Islam. Sebetulnya, kedua hal di atas bisa diatasi saat kekholifahan dipegang orang kuat dan keimanannya tinggi, tapi kesempatan ini tak dimanfaatkan dengan baik. Suleiman II-yang dijuluki al-Qonun, karena jasanya mengadopsi UU sebagai sistem khilafah, yang saat itu merupakan khilafah terkuat-malah menyusun UU menurut mazhab tertentu, yakni mazhab Hanafi, dengan kitab Pertemuan Berbagai Lautan-nya yang ditulis Ibrohimul Halabi (1549). Padahal khilafah Islam bukan negara mazhab, jadi semua mazhab Islam memiliki tempat dalam 1 negara dan bukan hanya 1 mazhab. Dengan tak dimanfaatkannya kesempatan emas ini untuk perbaikan, 2 hal tadi tak diperbaiki. Contoh: dengan diambilnya UU oleh Suleiman II, seharusnya penyimpangan dalam pengangkatan kholifah bisa dihindari, tapi ini tak tersentuh UU. Dampaknya, setelah berakhirnya kekuasaan Suleimanul Qonun, yang jadi kholifah malah orang lemah, seperti Sultan Mustafa I (1617), Osman II (1617-1621), Murad IV (1622-1640), Ibrohim bin Ahmed (1639-1648), Mehmed IV (1648-1687), Suleiman III (1687-1690), Ahmed II (1690-1694), Mustafa II (1694-1703), Ahmed III (1703-1730), Mahmud I (1730-1754), Osman III (1754-1787), Mustafa III (1757-1773), dan Abdul Hamid I (1773-1788). Inilah yang membuat militer, Yennisari-yang dibentuk Sultan Ourkhan-saat itu memberontak (1525, 1632, 1727, dan 1826), sehingga mereka dibubarkan (1785). Selain itu, majemuknya rakyat dari segi agama, etnik dan mazhab perlu penguasa berintelektual kuat. Sehingga, para pemimpin lemah ini memicu pemberontakan kaum Druz yang dipimpin Fakhruddin bin al-Ma'ni.

Ini yang membuat politik luar negeri khilafah-dakwah dan jihad-berhenti sejak abad ke-17, sehingga Yennisari membesar, lebih dari pasukan dan peawai pemerintah biasa, sementara pemasukan negara merosot. Ini membuat khilafah terpuruk karena suap dan korupsi. Para wali dan pegawai tinggi memanfaatkan jabatannya untuk jadi penjilat dan penumpuk harta. Ditambah dengan menurunnya pajak dari Timur Jauh yang melintasi wilayah khilafah, setelah ditemukannya jalur utama yang aman, sehingga bisa langsung ke Eropa. Ini membuat mata uang khilafah tertekan, sementara sumber pendapatan negara seperti tambang, tak bisa menutupi kebutuhan uang yang terus meningkat.

Paruh kedua abad ke-16, terjadilah krisis moneter saat emas dan perak diusung ke negeri Laut Putih Tengah dari Dunia Baru lewat kolonial Spanyol. Mata uang khilafah saat itu terpuruk; infasi hebat. Mata uang Baroh diluncurkan khilafah tahun 1620 tetap gagal mengatasi inflasi. Lalu keluarlah mata uang Qisry di abad ke-17. Inilah yang membuat pasukan Utsmaniah di Yaman memberontak pada paruh kedua abad ke-16. Akibat adanya korupsi negara harus menanggung utang 300 juta lira.

Dengan tak dijalankannya politik luar negeri yang Islami-dakwah dan jihad-pemahaman jihad sebagai cara mengemban ideologi Islam ke luar negeri hilang dari benak muslimin dan kholifah. Ini terlihat saat Sultan Abdul Hamid I/Sultan Abdul Hamid Khan meminta Syekh al-Azhar membaca Shohihul Bukhori di al-Azhar agar Allah SWT memenangkannya atas Rusia (1788). Sultanpun meminta Gubernur Mesir saat itu agar memilih 10 ulama dari seluruh mazhab membaca kitab itu tiap hari.

Sejak jatuhnya Konstantinopel di abad 15, Eropa-Kristen melihatnya sebagai awal Masalah Ketimuran, sampai abad 16 saat penaklukan Balkan, seperti Bosnia, Albania, Yunani dan kepulauan Ionia. Ini membuat Paus Paulus V (1566-1572) menyatukan Eropa yang dilanda perang antar agama-sesama Kristen, yakni Protestan dan Katolik. Konflik ini berakhir setelah adanya Konferensi Westafalia (1667). Saat itu, penaklukan khilafah terhenti. Memang setelah kalahnya khilafah atas Eropa dalam perang Lepanto (1571), khilafah hanya mempertahankan wilayahnya. Ini dimanfaatkan Austria dan Venezia untuk memukul khilafah. Pada Perjanjian Carlowitz (1699), wilayah Hongaria, Slovenia, Kroasia, Hemenietz, Padolia, Ukraina, Morea, dan sebagian Dalmatia lepas; masing-masing ke tangan Venezia dan Habsburg. Malah khilafah harus kehilangan wilayahnya di Eropa pada Perang Krim (abad ke-19), dan tambah tragis setelah Perjanjian San Stefano (1878) dan Berlin (1887).

Menghadapi kemerosotan itu, khilafah telah melakukan reformasi (abad ke-17, dst). Namun lemahnya pemahaman Islam membuat reformasi gagal. Sebab saat itu khilafah tak bisa membedakan IPTek dengan peradaban dan pemikiran. Ini membuat munculnya struktur baru dalam negara, yakni perdana menteri, yang tak dikenal sejarah Islam kecuali setelah terpengaruh demokrasi Barat yang mulai merasuk ke tubuh khilafah. Saat itu, penguasa dan syaikhul Islam mulai terbuka terhadap demokrasi lewat fatwa syaikhul Islam yang kontroversi. Malah, setelah terbentuk Dewan Tanzimat (1839 M) semakin kokohlah pemikiran Barat, setelah disusunnya beberapa UU, seperti UU Acara Pidana (1840), dan UU Dagang (1850), tambah rumusan Konstitusi 1876 oleh Gerakan Turki Muda, yang berusaha membatasi fungsi dan kewenangan kholifah.

Konspirasi Menghancurkan Khilafah

Di dalam negara, ahlu dzimmah-khususnya orang Kristen-yang mendapat hak istimewa zaman Suleiman II, akhirnya menuntut persamaan hak dengan muslimin. Malahan hak istimewa ini dimanfaatkan untuk melindungi provokator dan intel asing dengan jaminan perjanjian antara khilafah dengan Bizantium (1521), Prancis (1535), dan Inggris (1580). Dengan hak istimewa ini, jumlah orang Kristen dan Yahudi meningkat di dalam negeri. Ini dimanfaatkan misionaris-yang mulai menjalankan gerakan sejak abad ke-16. Malta dipilih sebagai pusat gerakannya. Dari sana mereka menyusup ke Suriah(1620) dan tinggal di sana sampai 1773. Di tengah mundurnya intelektualitas Dunia Islam, mereka mendirikan pusat kajian sebagai kedok gerakannya. Pusat kajian ini kebanyakan milik Inggris, Prancis, dan Amerika Serikat, yang digunakan Barat untuk mengemban kepemimpinan intelektualnya di Dunia Islam, disertai serangan mereka terhadap pemikiran Islam. Serangan ini sudah lama dipersiapkan orientalis Barat, yang mendirikan Pusat Kajian Ketimuran sejak abad ke-14.

Gerakan misionaris dan orientalis itu merupakan bagian tak terpisahkan dari imperialisme Barat di Dunia Islam. Untuk menguasainya - meminjam istilah Imam al-Ghozali - Islam sebagai asas harus hancur, dan khilafah Islam harus runtuh. Untuk meraih tujuan pertama, serangan misionaris dan orientalis diarahkan untuk menyerang pemikiran Islam; sedangkan untuk meraih tujuan kedua, mereka hembuskan nasionalisme dan memberi stigma pada khilafah sebagai Orang Sakit. Agar kekuatan khilafah lumpuh, sehingga agar bisa sekali pukul jatuh, maka dilakukanlah upaya intensif untuk memisahkan Arab dengan lainnya dari khilafah. Dari sinilah, lahir gerakan patriotisme dan nasionalisme di Dunia Islam. Malah, gerakan keagamaan tak luput dari serangan, seperti Gerakan Wahabi di Hijaz. Sejak pertengahan abad ke-18 gerakan ini dimanfaatkan Inggris - melalui agennya Ibn Sa'ud - untuk menyulut pemberontakan di beberapa wilayah Hijaz dsk, yang sebelumnya gagal dilakukan Inggris lewat gerakan kesukuan. Walau begitu, akhirnya gerakan ini bisa dibendung di beberapa wilayah oleh khilafah lewat Mehmed Ali Pasha, Gubernur Mesir yang-ternyata agen Prancis-didukung Prancis. Di Eropa, wilayah yang dikuasai khilafah diprovokasi agar memberontak (abad 19-20), seperti kasus Serbia, Yunani, Bulgaria, Armenia dan terakhir Krisis Balkan, sehingga khilafah Turki Utsmani kehilangan banyak wilayahnya, dan yang tersisa hanya Turki.

Nasionalisme dan separatisme telah dipropagandakan negara-negara Eropa seperti Inggris, Prancis, dan Rusia. Itu bertujuan untuk menghancurkan khilafah Islam. Keberhasilannya memakai sentimen kebangsaan dan separatisme di Serbia, Hongaria, Bulgaria, dan Yunani mendorongnya memakai cara sama di seluruh wilayah khilafah. Hanya saja, usaha ini lebih difokuskan di Arab dan Turki. Sementara itu, KeduBes Inggris dan Prancis di Istambul dan daerah-daerah basis khilafah-seperti Baghdad, Damsyik, Beirut, Kairo, dan Jeddah-telah menjadi pengendalinya. Untuk menyukseskan misinya, dibangunlah 2 markas. Pertama, Markas Beirut, yang bertugas memainkan peranan jangka panjang, yakni mengubah putra-putri umat Islam menjadi kafir dan mengubah sistem Islam jadi sistem kufur. Kedua, Markas Istambul, bertugas memainkan peranan jangka pendek, yaitu memukul telak khilafah.

KeduBes negara Eropapun mulai aktif menjalin hubungan dengan orang Arab. Di Kairo dibentuk Partai Desentralisasi yang diketuai Rofiqul 'Adzim. Di Beirut, Komite Reformasi dan Forum Literal dibentuk. Inggris dan Prancis mulai menyusup ke tengah orang Arab yang memperjuangkan nasionalisme. Pada 8 Juni 1913, para pemuda Arab berkongres di Paris dan mengumumkan nasionalisme Arab. Dokumen yang ditemukan di Konsulat Prancis Damsyik telah membongkar rencana pengkhianatan kepada khilafah yang didukung Inggris dan Prancis.

Di Markas Istambul, negara-negara Eropa tak hanya puas merusak putra-putri umat Islam di sekolah dan universitas lewat propaganda. Mereka ingin memukul khilafah dari dekat secara telak. Caranya ialah mengubah sistem pemerintahan dan hukum Islam dengan sistem pemerintahan Barat dan hukum kufur. Kampanye mulai dilakukan Rasyid Pasha, MenLu zaman Sultan Abdul Mejid II (1839). Tahun itu juga, Naskah Terhormat(Kholkhonah)-yang dijiplak dari UU di Eropa-diperkenalkan. Tahun 1855, negara-negara Eropa-khususnya Inggris-memaksa khilafah Utsmani mengamandemen UUD, sehingga dikeluarkanlah Naskah Hemayun (11 Februari 1855). Midhat Pasha, salah satu anggota Kebatinan Bebas diangkat jadi perdana menteri (1 September 1876). Ia membentuk panitia Ad Hoc menyusun UUD menurut Konstitusi Belgia. Inilah yang dikenal dengan Konstitusi 1876. Namun, konstitusi ini ditolak Sultan Abdul Hamid II dan Sublime Port-pun enggan melaksanakannya karena dinilai bertentangan dengan syari'at. Midhat Pashapun dipecat dari kedudukan perdana menteri. Turki Muda yang berpusat di Salonika-pusat komunitas Yahudi Dunamah-memberontak (1908). Kholifah dipaksanya-yang menjalankan keputusan Konferensi Berlin-mengumumkan UUD yang diumumkan Turki Muda di Salonika, lalu dibukukanlah parlemen yang pertama dalam khilafah Turki Utsmani (17 November 1908). Bekerja sama dengan syaikhul Islam, Sultan Abdul Hamid II dipecat dari jabatannya, dan dibuang ke Salonika. Sejak itu sistem pemerintahan Islam berakhir.

Tampaknya Inggris belum puas menghancurkan khilafah Turki Utsmani secara total. Perang Dunia I (1914) dimanfaatkan Inggris menyerang Istambul dan menduduki Gallipoli. Dari sinilah kampanye Dardanella yang terkenal itu mulai dilancarkan. Pendudukan Inggris di kawasan ini juga dimanfaatkan untuk mendongkrak popularitas Mustafa Kemal Pasha-yang sengaja dimunculkan sebagai pahlawan pada Perang Ana Forta (1915). Ia-agen Inggris, keturunan Yahudi Dunamah dari Salonika-melakukan agenda Inggris, yakni melakukan revolusi kufur untuk menghancurkan khilafah Islam. Ia menyelenggarakan Kongres Nasional di Sivas dan menelurkan Deklarasi Sivas (1919 M), yang mencetuskan Turki merdeka dan negeri Islam lainnya dari penjajah, sekaligus melepaskannya dari wilayah Turki Utsmani. Irak, Suriah, Palestina, Mesir, dll mendeklarasikan konsensus kebangsaan sehingga merdeka. Saat itu sentimen kebangsaan tambah kental dengan lahirnya Pan-Turkisme dan Pan Arabisme; masing-masing menuntut kemerdekaan dan hak menentukan nasib sendiri atas nama bangsanya, bukan atas nama umat Islam.

Runtuhnya Khilafah Turki Utsmani

Sejak tahun 1920, Mustafa Kemal Pasha menjadikan Ankara sebagai pusat aktivitas politiknya. Setelah menguasai Istambul, Inggris menciptakan kevakuman politik, dengan menawan banyak pejabat negara dan menutup kantor-kantor dengan paksa sehingga bantuan kholifah dan pemerintahannya mandeg. Instabilitas terjadi di dalam negeri, sementara opini umum menyudutkan kholifah dan memihak kaum nasionalis. Situasi ini dimanfaatkan Mustafa Kemal Pasha untuk membentuk Dewan Perwakilan Nasional - dan ia menobatkan diri sebagai ketuanya - sehingga ada 2 pemerintahan; pemerintahan khilafah di Istambul dan pemerintahan Dewan Perwakilan Nasional di Ankara. Walau kedudukannya tambah kuat, Mustafa Kemal Pasha tetap tak berani membubarkan khilafah. Dewan Perwakilan Nasional hanya mengusulkan konsep yang memisahkan khilafah dengan pemerintahan. Namun, setelah perdebatan panjang di Dewan Perwakilan Nasional, konsep ini ditolak. Pengusulnyapun mencari alasan membubarkan Dewan Perwakilan Nasional dengan melibatkannya dalam berbagai kasus pertumpahan darah. Setelah memuncaknya krisis, Dewan Perwakilan Nasional ini diusulkan agar mengangkat Mustafa Kemal Pasha sebagai ketua parlemen, yang diharap bisa menyelesaikan kondisi kritis ini.

Setelah resmi dipilih jadi ketua parlemen, Pasha mengumumkan kebijakannya, yaitu mengubah sistem khilafah dengan republik yang dipimpin seorang presiden yang dipilih lewat Pemilu. Tanggal 29 November 1923, ia dipilih parlemen sebagai presiden pertama Turki. Namun ambisinya untuk membubarkan khilafah yang telah terkorupsi terintangi. Ia dianggap murtad, dan rakyat mendukung Sultan Abdul Mejid II, serta berusaha mengembalikan kekuasaannya. Ancaman ini tak menyurutkan langkah Mustafa Kemal Pasha. Malahan, ia menyerang balik dengan taktik politik dan pemikirannya yang menyebut bahwa penentang sistem republik ialah pengkhianat bangsa dan ia melakukan teror untuk mempertahankan sistem pemerintahannya. Kholifah digambarkan sebagai sekutu asing yang harus dienyahkan.

Setelah suasana negara kondusif, Mustafa Kemal Pasha mengadakan sidang Dewan Perwakilan Nasional. Tepat 3 Maret 1924 M, ia memecat kholifah, membubarkan sistem khilafah, dan menghapuskan sistem Islam dari negara. Hal ini dianggap sebagai titik klimaks revolusi Mustafa Kemal Pasha.

* Osman I (1281-1326; bey)
* Orhan I (1326-1359; bey)
* Murad I (1359-1389; sultan sejak 1383)
* Beyazid I (1389-1402)
* Interregnum (1402-1413)
* Mehmed I (1413-1421)
* Murad II (1421-1444) (1445-1451)
* Mehmed II (sang Penguasa) (1444-1445) (1451-1481)
* Beyazid II (1481-1512)
* Selim I (1512-1520)
* Suleiman I (yang Agung) (1520-1566)
* Selim II (1566-1574)
* Murad III (1574-1595)
* Mehmed III (1595-1603)
* Ahmed I (1603-1617)
* Mustafa I (1617-1618)
* Osman II (1618-1622)
* Mustafa I (1622-1623)
* Murad IV (1623-1640)
* Ibrahim I (1640-1648)



* Mehmed IV (1648-1687)
* Suleiman II (1687-1691)
* Ahmed II (1691-1695)
* Mustafa II (1695-1703)
* Ahmed III (1703-1730)
* Mahmud I (1730-1754)
* Osman III (1754-1757)
* Mustafa III (1757-1774)
* Abd-ul-Hamid I (1774-1789)
* Selim III (1789-1807)
* Mustafa IV (1807-1808)
* Mahmud II (1808-1839)
* Abd-ul-Mejid (1839-1861)
* Abd-ul-Aziz (1861-1876)
* Murad V (1876)
* Abd-ul-Hamid II (1876-1909)
* Mehmed V (Reşad) (1909-1918)
* Mehmed VI (Vahideddin) (1918-1922)
* Abdul Mejid II, (1922-1924; hanya sebagai Kalifah)




Ottoman empire.jpg (445 KB)

para penghuni goa

“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) prasasti itu, mereka, termasuk tanda-tanda Kami yang mengherankan.” (QS. Al Kahfi, 18: 9) !

Surat ke-18 Al Quran yang dinamakan “Al Kahfi” yang berarti “gua”, menceritakan tentang sekelompok pemuda yang berlin-dung di sebuah gua untuk bersembunyi dari penguasa yang meng-ingkari Allah dan melakukan penindasan dan ketidakadilan atas mereka yang beriman. Ayat-ayat yang menerangkan tentang hal ini adalah sebagai berikut :

“Atau kamu mengira bahwa orang-orang yang mendiami gua dan (yang mempunyai) prasasti itu, mereka termasuk tanda-tanda Kami yang mengherankan? (Ingatlah) tatkala pemuda-pemuda itu mencari tempat berlindung ke dalam gua lalu mereka berdoa: “Wahai Tuhan kami, berikanlah rahmat kepada kami dari sisi-Mu dan sempurna-kanlah bagi kami petunjuk yang lurus dalam urusan kami (ini)”.

Maka Kami tutup telinga mereka beberapa tahun dalam gua itu, ke-mudian Kami bangunkan mereka, agar Kami mengetahui manakah di antara kedua golongan itu yang lebih tepat dalam menghitung bera-pa lamanya mereka tinggal (di dalam gua itu). Kami menceritakan kisah mereka kepadamu (Muhammad) dengan sebenarnya. Sesung-guhnya mereka itu adalah pemuda-pemuda yang beriman kepada Tuhan mereka dan Kami tambahkan kepada mereka petunjuk; dan Kami telah meneguhkan hati mereka di waktu mereka berdiri lalu mereka berkata: “Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesung-guhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran”. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemuka-kan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah? Dan apabila kamu meninggalkan mere-ka dan apa yang mereka sembah selain Allah, maka carilah tempat berlindung ke dalam gua itu niscaya Tuhanmu akan melimpahkan sebagian rahmat-Nya kepadamu dan menyediakan sesuatu yang ber-guna bagimu dalam urusan kamu. Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang me-reka dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah, maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya, maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.

Dan kamu mengira mereka itu bangun padahal mereka tidur; dan Kami balik-balikkan mereka ke kanan dan kiri, sedang anjing mereka mengunjurkan kedua lengannya di muka pintu gua. Dan jika kamu menyaksikan mereka, tentulah kamu akan berpaling dari mereka dengan melarikan (diri) dan tentulah (hati) kamu akan dipenuhi dengan ketakutan terhadap mereka.

Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling berta-nya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini)?”. Mereka menjawab, “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah satu orang di antara ka-mu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan hal-mu kepada seorang pun.

Sesungguhnya jika mereka dapat mengetahui tempatmu, niscaya me-reka akan melempar kamu dengan batu atau memaksamu kembali kepada agama mereka dan jika demikian niscaya kamu tidak akan beruntung selama-lamanya.”

Dan demikianlah (Kami) mempertemukan (manusia) dengan mereka, agar manusia itu mengetahui bahwa kedatangan hari kiamat tidak ada keraguan padanya. Ketika orang-orang itu berselisih tentang urusan mereka, orang-orang itu berkata: “Dirikanlah sebuah ba-ngunan di atas (gua) mereka, Tuhan mereka lebih mengetahui tentang mereka”. Orang-orang yang berkuasa atas urusan mereka berkata: “Sesungguhnya kami akan mendirikan sebuah rumah peribadatan di atasnya”. Nanti (ada orang yang akan) mengatakan (jumlah mere-ka) adalah tiga orang, yang keempat adalah anjingnya, dan (yang lain) mengatakan: “(Jumlah mereka) adalah lima orang, yang ke-enam adalah anjingnya,” sebagai terkaan terhadap barang yang gaib; dan (yang lain lagi) mengatakan: “(Jumlah mereka) tujuh orang, yang kedelapan adalah anjingnya.” Katakanlah: “Tuhanku lebih mengetahui jumlah mereka; tidak ada orang yang mengetahui (bi-langan) mereka kecuali sedikit”. Karena itu janganlah kamu (Mu-hammad) bertengkar tentang hal mereka, kecuali pertengkaran lahir saja dan jangan kamu menanyakan tentang mereka (pemuda-pemu-da itu) kepada seorang pun di antara mereka.

Dan janganlah sekali-kali kamu mengatakan terhadap sesuatu; “Se-sungguhnya aku akan mengerjakan itu besok pagi, kecuali (dengan menyebut): “Insya Allah.” Dan ingatlah kepada Tuhanmu jika kamu lupa dan katakanlah: “Mudah-mudahan Tuhanku memberiku petun-juk kepada yang lebih dekat kebenarannya daripada ini”. Dan mere-ka tinggal di dalam gua mereka tiga ratus tahun dan ditambah sembilan tahun (lagi).

Katakanlah: ”Allah lebih mengetahui berapa lamanya mereka ting-gal (di gua); kepunyaan-Nya-lah semua yang tersembunyi di langit dan bumi. Alangkah terang penglihatan-Nya dan alangkah tajam pen-dengaran-Nya; tak ada seorang pelindung pun bagi mereka selain daripada-Nya, dan Dia tidak mengambil seorang pun menjadi seku-tu-Nya dalam menetapkan keputusan.” (QS. Al Kahfi, 18: 9-26) !

Menurut kepercayaan yang umum, para Penghuni Gua yang dipuji baik oleh sumber Islam maupun Nasrani, adalah korban dari tirani yang kejam dari Decius, kaisar Romawi. Karena menghadapi penindasan dan kesewenang-wenangan Decius, para pemuda ini memperingatkan kaum-nya berulang kali untuk tidak meninggalkan agama Allah. Ketidakacuh-an kaum mereka terhadap penyampaian risalah tersebut, meningkatnya penindasan kaisar, dan ancaman pembunuhan terhadap mereka, mem-buat mereka meninggalkan tempat tinggal mereka.

Sebagaimana dibenarkan dokumen-dokumen sejarah, pada saat itu, banyak kaisar yang melaksanakan kebijakan teror, penindasan dan kese-wenang-wenangan secara meluas terhadap mereka yang memegang agama Nasrani yang awal dalam bentuknya yang asli dan murni.

Dalam sebuah surat yang ditulis oleh Gubernur Romawi Pilinius (69-113 M) yang berada di Barat Laut Anatolia kepada Kaisar Trayanus, ia merujuk sekelompok Messiah (Nasrani) yang dihukum karena menolak menyembah patung kaisar. Surat ini adalah salah satu dokumen terpen-ting yang menyebutkan penindasan yang menimpa orang-orang Nasrani pada masa awalnya. Dalam situasi demikian, para pemuda ini, yang diperintahkan untuk tunduk kepada sistem yang non-agamis dan untuk menyembah kaisar sebagai tuhan selain Allah, tidak menerima ini dan berkata:

“Tuhan kami adalah Tuhan langit dan bumi; kami sekali-kali tidak menyeru Tuhan selain Dia, sesungguhnya kami kalau demikian telah mengucapkan perkataan yang amat jauh dari kebenaran. Kaum kami ini telah menjadikan selain Dia sebagai tuhan-tuhan (untuk disembah). Mengapa mereka tidak mengemukakan alasan yang terang (tentang kepercayaan mereka). Siapakah yang lebih zalim daripada orang-orang yang mengada-adakan kebohongan terhadap Allah?” (QS. Al Kahfi, 18: 14-15) !

Sehubungan dengan daerah tempat tinggal Para Penghuni Gua, ter-dapat beberapa pandangan yang berbeda. Di antaranya yang paling bisa diterima akal adalah daerah Ephesus dan Tarsus.

Hampir semua sumber Nasrani menunjuk Ephesus sebagai lokasi dari Gua tempat para pemuda beriman ini berlindung. Beberapa peneliti Muslim dan pengamat Al Quran bersepakat dengan kaum Nasrani ten-tang Ephesus. Beberapa lainnya, menerangkan dengan terperinci bahwa tempat itu bukanlah Ephesus, dan kemudian berusaha untuk membukti-kan bahwa kejadiannya adalah di Tarsus. Dalam penelitian ini, kedua alternatif ini akan dibahas. Walau begitu, semua peneliti dan pengamat, termasuk kalangan Kristen mengatakan bahwa kejadian tersebut berlang-sung pada masa Kaisar Romawi Decius (disebut juga sebagai Decianus) sekitar tahun 250 M.

Decius, bersama dengan Nero, dikenal sebagai kaisar Romawi yang menyiksa kaum Nasrani dengan amat kejam. Dalam masa pemerintahan-nya yang singkat, ia mensahkan suatu hukum yang memaksa semua orang di bawah kekuasaannya untuk melakukan persembahan terhadap dewa-dewa Romawi. Setiap orang diwajibkan untuk melakukan persem-bahan ini dan lebih jauh lagi, mendapatkan sertifikat yang menyatakan bahwa mereka telah melakukannya, yang harus mereka tunjukkan kepa-da petugas pemerintahan. Mereka yang tidak patuh akan dihukum mati. Dalam sumber-sumber Nasrani, dituliskan bahwa sebagian besar kaum Nasrani menolak tindakan musyrik ini dan melarikan diri dari “satu kota ke kota lain”, atau bersembunyi di perlindungan rahasia. Para Penghuni Gua kemungkinan besar adalah salah satu kelompok di antara kaum Nasrani awal ini.

Sementara itu, ada satu poin yang harus ditekankan di sini: Topik ini telah diceritakan dalam bentuk cerita oleh sejumlah ahli sejarah dan peng-amat Islam dan Kristen, dan berubah menjadi legenda akibat penambah-an banyak kepalsuan dan kabar burung. Namun demikian, kejadian ini adalah suatu kenyataan sejarah.

Apakah Para Penghuni Gua Ada di Ephesus?

Bersangkutan dengan kota tempat tinggal para pemuda ini dan gua tempat mereka berlindung, beberapa tempat ditunjukkan dalam berbagai sumber yang berbeda. Alasan utama untuk ini adalah: orang-orang ingin mempercayai bahwa orang-orang yang berani dan teguh hati seperti itu hidup di kotanya, dan sangat miripnya gua-gua di daerah tersebut. Seba-gai contoh, hampir di semua tempat ini terdapat tempat peribadatan yang katanya dibangun di atas gua.

Sebagaimana dikenal luas, Ephesus dianggap sebagai sebuah tempat suci bagi orang Nasrani, karena di kota tersebut ada sebuah rumah yang katanya dimiliki Perawan Maria dan kemudian berubah menjadi sebuah gereja. Jadi sangatlah mungkin bahwa para Penghuni Gua pernah hidup di salah satu di antara tempat-tempat suci tersebut. Bahkan, beberapa sumber Nasrani menyatakan kepastiannya bahwa itulah tempatnya.

Sumber tertua tentang hal ini adalah pendeta Syria bernama James dari Saruc (lahir 452 M). Ahli sejarah terkemuka, Gibbon, banyak mengutip dari penelitian James dalam bukunya yang berjudul The Decline and Fall of the Roman Empire (Kemunduran dan Keruntuhan Kekaisaran Romawi). Menurut buku ini, nama kaisar yang menyiksa ketujuh pemu-da Nasrani yang beriman tersebut dan memaksa mereka bersembunyi di dalam gua, adalah Decius. Decius memerintah Kekaisaran Romawi antara tahun 249-251 M dan masa kekuasaannya dikenal luas dengan penyiksaan yang ia lakukan terhadap para pengikut Isa (Jesus). Menurut para pengamat Islam, daerah tempat terjadinya peristiwa itu adalah “Aphesus” atau “Aphesos”. Menurut Gibbon, nama tempat ini adalah Ephesus. Terletak di pantai Barat Anatolia, kota ini merupakan salah satu pelabuhan dan kota terbesar dari kekaisaran Romawi. Saat ini, reruntuh-an kota ini dikenal sebagai “Kota Antik Ephesus”.

Nama kaisar yang memerintah di masa para Penghuni Gua terba-ngun dari tidur mereka yang panjang adalah Tezusius menurut para peneliti Muslim, dan Theodosius II menurut Gibbons. Kaisar ini meme-rintah antara tahun 408-450 M, setelah kekaisaran Romawi berubah memeluk agama Nasrani.

Dengan merujuk kepada ayat di bawah ini, dalam beberapa tempat disebutkan bahwa pintu masuk gua menghadap ke utara, sehingga sinar matahari tidak dapat masuk. Dengan demikian, orang yang melewati gua tidak dapat melihat sama sekali apa yang ada di dalamnya. Ayat Al Quran yang berkaitan dengan hal ini mengatakan :

“Dan kamu akan melihat matahari ketika terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri sedang mereka dalam tempat yang luas dalam gua itu. Itu adalah sebagian dari tanda-tanda (kebesaran) Allah. Barang siapa yang diberi petunjuk oleh Allah maka dialah yang mendapat petunjuk; dan barang siapa yang disesatkan-Nya maka kamu tidak akan mendapatkan seorang pemimpin pun yang dapat memberi petunjuk kepadanya.” (QS. Al Kahfi, 18: 17) !

Ahli Arkeologi Dr. Musa Baran menunjuk Ephesus sebagai tempat kelompok pemuda beriman ini hidup, dalam bukunya yang berjudul “Ephesus”, ia menambahkan:

Di tahun 250 SM, tujuh orang pemuda yang hidup di Ephesus memilih untuk memeluk Nasrani dan menolak keberhalaan. Saat mencoba untuk mencari jalan keluar, para pemuda ini menemukan sebuah gua di lereng timur Gunung Pion. Tentara Romawi melihat ini dan membangun dinding di pintu gua tersebut. 45

Saat ini, diketahui bahwa di atas reruntuhan tua dan kuburan ini ba-nyak didirikan bangunan religius. Penggalian yang dilakukan oleh Instit-ut Arkeologi Austria pada tahun 1926 mengungkapkan bahwa reruntuh-an yang ditemukan di lereng timur Gunung Pion berasal dari bangunan yang didirikan atas nama para Penghuni Gua di pertengahan abad ke-7 (selama pemerintahan Theodosius II). 46

Apakah Para Penghuni Gua Ada di Tarsus ?

Tempat kedua yang diajukan sebagai tempat Penghuni Gua pernah hidup adalah Tarsus. Memang, terdapat sebuah gua yang mirip dengan gua yang disebutkan dalam Al Quran, yang terletak di sebuah gunung yang dikenal sebagai Encilus atau Bencilus, di Barat Laut Tarsus.

Gagasan bahwa Tarsus adalah tempat yang tepat adalah pandangan dari banyak ilmuwan Islam. Salah seorang ahli tafsir Al Quran terkemu-ka, Ath-Thabari menetapkan bahwa nama gunung tempat gua tersebut berada adalah “Bencilus” dalam kitabnya yang berjudul “Tarikh Al Umam, dan menambahkan bahwa gunung ini terletak di Tarsus.47

Juga, ahli Tafsir Al Quran lain bernama Muhammad Amin menyata-kan bahwa nama gunung tersebut adalah “Pencilus” dan berada di Tarsus. Nama yang diucapkan sebagai “Pencilus” kadangkala diucapkan sebagai “Encilus”. Menurutnya, perbedaan antar kata-kata itu disebab-kan perbedaan pengucapan huruf “B” atau oleh hilangnya huruf dari kata aslinya, yang disebut dengan “abrasi kata-kata historis”.48

Fakhruddin Ar-Razi seorang ulama Al Quran terkenal lainnya, men-jelaskan dalam karyanya bahwa “meskipun tempat ini disebut Ephesus, tujuan dasarnya di sini adalah untuk mengatakan Tarsus, karena Ephesus hanyalah nama lain dari Tarsus”. 49

Sebagai tambahan, dalam Tafsir Qadi Al Baidhawi dan An-Nasafi, dalam Tafsir Al Jalalain dan At-Tibyan, dalam komentar dari Elmali dan O. Nasuhi Bilman, dan banyak ulama lainnya, tempat ini ditunjuk sebagai “Tarsus”. Di samping itu, semua ahli tafsir ini menerangkan bahwa kalimat dalam ayat 17, “matahari ketika terbit condong dari gua mereka ke sebelah kanan, dan bila matahari itu terbenam menjauhi mereka ke sebelah kiri” dengan mengatakan bahwa mulut gua di pegunungan menghadap ke utara. 50

Tempat tinggal Para Penghuni Gua juga menjadi pokok perhatian pa-da masa kekaisaran Turki Utsmani dan sejumlah penelitian dilakukan terhadap hal ini. Terdapat beberapa korespondensi dan pertukaran infor-masi tentang hal ini dalam arsip kementerian Utsmani. Sebagai contoh, dalam sebuah surat yang dikirimkan kepada Penguasa Perbendaharaan Negara Turki oleh pemerintahan lokal Tarsus, ada sebuah permintaan resmi dan lampiran yang menyebutkan permintaan mereka untuk mem-beri gaji kepada orang-orang yang berurusan dengan pembersihan dan pemeliharaan gua Ashabul Kahfi (Para Penghuni Gua). Jawaban terhadap surat ini menyatakan bahwa agar gaji para pekerja itu bisa diambil dari perbendaharaan negara, perlu diselidiki apakah gua ini benar-benar tem-pat Para Penghuni Gua pernah berada. Penelitian yang dilakukan untuk tujuan ini sangat berguna dalam penentuan letak sebenarnya dari gua tersebut.

Dalam laporan yang dipersiapkan setelah suatu penyelidikan yang dilakukan oleh Dewan Nasional, dinyatakan: “Di sebelah utara Tarsus, sebuah propinsi Adana, terdapat sebuah gua di sebuah gunung yang dua jam jauhnya dari Tarsus, dan mulut gua tersebut menghadap ke utara sebagaimana dinyatakan dalam Al Quran.”51

Perdebatan yang berkembang tentang siapa para Penghuni Gua, di mana dan kapan mereka hidup, selalu mengarahkan pihak berwenang untuk mengadakan penelitian terhadap hal ini dan banyak komentar di-buat tentang hal ini. Namun belum satu pun komentar-komentar ini da-pat dipertimbangkan pasti, sehingga pertanyaan seperti: Pada periode mana para pemuda yang beriman ini hidup dan di mana gua yang dise-butkan dalam ayat-ayat tersebut, tetap ada tanpa jawaban yang menda-sar.

Picture Text

Bagian dalam dari gua di Ephesus yang dianggap sebagai gua yang ditempati Para Penghuni Gua.

Gua di Ephesus tampak dari luar.

Gua di Tarsus yang diduga ditempati Para Penghuni Gua.

Nabi Sulaiman dan Ratu Saba'

“Dikatakan kepadanya: “Masuklah ke dalam istana. Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar, dan disingkapkannya kedua betisnya”. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: ”Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 44) !

Catatan sejarah mengenai pertemuan antara Sulaiman dengan Ratu Saba’ menjadi jelas dengan penelitian yang dilakukan nege-ri tua Saba’ di Yaman Selatan. Penelitian yang dilakukan ter-hadap reruntuhan mengungkapkan bahwa seorang “ratu” pernah hidup di kawasan ini antara tahun 1000-950 SM dan melakukan perjalanan ke utara (ke Yerusalem).

Rincian tentang apa yang terjadi antara dua penguasa ini, kekuatan ekonomi dan politik negara mereka, pemerintahan mereka dan rincian lainnya, semua diterangkan dalam Surat An-Naml. Kisah ini, yang me-liputi sebagian besar Surat An-Naml, memulai rujukannya tentang Ratu Saba’ dengan berita yang dibawa kepada Sulaiman oleh burung Hud-Hud, salah satu anggota tentaranya:

“Maka tidak lama kemudian (datanglah Hud-Hud), lalu ia berkata: ”Aku telah mengetahui sesuatu yang kamu belum mengetahuinya; dan kubawa kepadamu dari negeri Saba’ suatu berita penting yang diyakini. Sesungguhnya aku menjumpai seorang wanita yang meme-rintah mereka, dan dia dianugerahi segala sesuatu serta mempunyai singgasana yang besar.

Aku mendapati dia dan kaumnya menyembah matahari, selain Allah; dan syaitan telah menjadikan mereka memandang indah per-buatan-perbuatan mereka, lalu menghalangi mereka dari jalan (Allah), sehingga mereka tidak mendapat petunjuk, agar mereka ti-dak menyembah Allah yang mengeluarkan apa yang terpendam di la-ngit dan di bumi dan yang mengetahui apa yang kamu sembunyikan dan apa yang kamu nyatakan. Allah, tiada Tuhan yang disembah kecuali Dia, Tuhan Yang mempunyai ‘Ársy yang besar.” Berkata Sulaiman: ”Akan kami lihat, apa kamu benar ataukah kamu termasuk orang-orang yang berdusta.” (QS. An-Naml, 27: 22-27) !

Setelah menerima berita ini dari burung Hud-Hud, Sulaiman pun memberikan perintah sebagai berikut :

“Pergilah dengan (membawa) suratku ini, lalu jatuhkanlah kepada mereka kemudian berpalinglah dari mereka, lalu perhatikanlah apa yang mereka bicarakan.” (QS. An- Naml, 27: 28) !

Setelah ini, Al Quran menceritakan kejadian yang berkembang sete-lah Ratu Saba' menerima surat tersebut:

“Berkata ia (Balqis): “Hai pembesar-pembesar, sesungguhnya telah dijatuhkan kepadaku sebuah surat yang mulia. Sesungguhnya surat ini dari Sulaiman dan sesungguhnya (isinya): “Dengan menyebut na-ma Allah Yang Maha Pemurah lagi Maha Penyayang. Bahwa ja-nganlah kamu sekalian berlaku sombong terhadapku dan datanglah kepadaku sebagai orang-orang yang berserah diri.”

Berkata dia (Balqis): “Hai para pembesar berilah aku pertimbangan dalam urusanku (ini), aku tidak pernah memutuskan sesuatu per-soalan sebelum kamu berada dalam majelis(ku).”

Mereka menjawab: “Kita adalah orang-orang yang memiliki keku-atan dan (juga) memiliki keberanian yang sangat (dalam peperang-an), dan keputusan berada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.”

Dia berkata: “Sesungguhnya raja-raja apabila memasuki suatu nege-ri, niscaya mereka membinasakannya, dan menjadikan penduduknya yang mulia jadi hina; dan demikian pulalah apa yang akan mereka perbuat. Dan sesungguhnya aku akan mengirimkan utusan kepada mereka dengan (membawa) hadiah dan (aku akan) menunggu apa yang dibawa kembali oleh utusan-utusanku itu.”

Maka tatkala utusan itu sampai kepada Sulaiman, Sulaiman pun berkata: “Apakah (patut) kamu menolong aku dengan harta? Maka apa yang diberikan oleh Allah kepadaku lebih baik daripada apa yang diberikan-Nya kepadamu; tetapi kamu merasa bangga dengan hadiahmu.

Kembalilah kepada mereka, dan sungguh kami akan mendatangi me-reka dengan bala tentara yang mereka tidak kuasa melawannya, dan pasti kami akan mengusir mereka dari negeri itu (Saba') dengan ter-hina dan mereka menjadi (tawanan-tawanan) yang hina dina”.

Berkata Sulaiman: “Hai pembesar-pembesar, siapakah di antara ka-mu sekalian yang sanggup membawa singgasananya kepadaku seba-gai orang-orang yang berserah diri”. Berkata Ifrit (yang cerdik) dari golongan jin: ”Aku akan datang kepadamu dengan membawa singga-sana itu kepadamu sebelum kamu berdiri dari tempat duduk-mu; sesungguhnya aku benar-benar kuat untuk membawanya lagi dapat dipercaya”.

Berkatalah seorang yang mempunyai ilmu dari Al Kitab: ”Aku akan membawa singgasana itu kepa-damu sebelum matamu berke-dip”. Maka tatkala Sulaiman melihat singgasana tersebut ter-letak di hadapannya, ia pun ber-kata: “Ini termasuk karunia Tu-hanku untuk mencoba aku apa-kah aku bersyukur atau meng-ingkari (akan nikmat-Nya). Dan barang siapa yang bersyu-kur, sesungguhnya dia bersyu-kur untuk (kebaikan) dirinya sendiri, dan barang siapa yang ingkar, maka sesungguhnya Tu-hanku Mahakaya lagi Maha-mulia.”

Dia berkata: “Ubahlah baginya singgasananya; maka kita akan melihat apakah dia mengenal ataukah dia termasuk orang-orang yang tidak mengenali-(nya)”.

Dan ketika Balqis datang, di-tanyakanlah kepadanya: “Seru-pa inikah singgasana-mu?” Dia menjawab: “Seakan-akan sing-gasana ini singgasanaku, kami telah diberi pengetahuan sebe-lumnya dan kami adalah orang-orang yang berserah diri.”

Dan apa yang disembahnya selama ini selain Allah, mencegahnya (untuk melahirkan keislamannya), karena sesungguhnya ia dahulu-nya termasuk orang-orang yang kafir. Dikatakanlah kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tatkala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua be-tisnya. Berkatalah Sulaiman: “Sesungguhnya ia adalah istana licin terbuat dari kaca.” Berkatalah Balqis: “Ya, Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbuat zalim terhadap diriku dan aku berserah diri bersa-ma Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 29-44) !

Istana Sulaiman

Dalam surat dan ayat yang merujuk tentang ratu Saba’, Nabi Sulaiman juga disebutkan. Tatkala diceritakan dalam Al Quran bahwa Sulaiman mempunyai kerajaan serta istana yang mengagumkan, banyak perincian lain juga diberikan.

Berdasarkan ini, Sulaiman memiliki teknologi yang paling maju di masanya. Di istananya terdapat berbagai karya seni yang menakjubkan dan benda-benda berharga, yang memesona semua yang melihatnya. Jalan masuk istana terbuat dari kaca. Al Quran menggambarkan istana ini dan pengaruhnya terhadap ratu Saba’ dalam ayat berikut :

“Dikatakanlah kepadanya: “Masuklah ke dalam istana.” Maka tat-kala dia melihat lantai istana itu, dikiranya kolam air yang besar dan disingkapkannya kedua betisnya. Berkatalah Sulaiman: “Se-sungguhnya ia adalah istana licin terbu-at dari kaca”. Berkatalah Balqis: “Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah berbu-at zalim terhadap diriku dan aku berse-rah diri bersama Sulaiman kepada Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. An-Naml, 27: 44) !

Istana Nabi Sulaiman disebut “Haikal Sulaiman” dalam literatur Ya-hudi. Saat ini, hanya “Tembok Barat” dari apa yang disebut haikal atau istana yang masih berdiri, dan ini pula tempat yang dinamakan “Tembok Ratapan” oleh orang Yahudi. Penyebab istana ini dihancurkan, sebagai-mana juga banyak tempat lain di Jerusalem, adalah perilaku jahat serta sombong dari bangsa Yahudi. Al Quran menjelaskan kepada kita sebagai berikut :

“Dan telah Kami tetapkan terhadap Bani Israil dalam kitab itu: “Se-sungguhnya kamu akan membuat kerusakan di muka bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesom-bongan yang besar”. Maka apabila datang saat hukuman bagi (keja-hatan) pertama dari kedua (kejahatan) itu, Kami datangkan kepada-mu hamba-hamba Kami yang mempunyai kekuatan yang besar, lalu mereka merajalela di kampung-kampung, dan itulah ketetapan yang pasti terlaksana.

Kemudian Kami berikan kepadamu giliran untuk mengalahkan mere-ka kembali dan Kami membantumu dengan harta kekayaan dan anak-anak dan Kami jadikan kamu kelompok yang lebih besar. Jika kamu berbuat baik (berarti) kamu berbuat baik bagi dirimu sendiri dan jika kamu berbuat jahat, maka (kejahatan) itu bagi dirimu sendi-ri, dan apabila datang saat hukuman bagi (kejahatan) yang kedua, (Kami datangkan orang-orang lain) untuk menyuramkan muka-mu-ka kamu dan mereka masuk ke dalam masjid, sebagaimana musuh-musuhmu memasukinya pada kali pertama dan untuk membinasa-kan sehabis-habisnya apa saja yang mereka kuasai.” (QS. Al Israa’, 17: 4-7) !

Seluruh kaum yang disebutkan dalam bab-bab terdahulu patut mene-rima hukuman karena keingkaran dan ketakbersyukuran mereka atas karunia Allah, sehingga mereka pun ditimpa bencana. Setelah berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat lain tanpa negara dan wilayah, dan akhirnya menemukan tempat tinggal di tanah suci pada masa Sulaiman, bangsa Yahudi sekali lagi dihancurkan karena perilaku mereka yang di luar batas, dan karena tindakan mereka yang merusak dan membang-kang. Yahudi modern yang telah menetap di daerah yang sama dengan daerah di masa lalu, kembali menyebabkan kerusakan dan ”berbesar hati dengan kesombongan yang luar biasa” sebagaimana mereka lakukan sebelum peringatan yang pertama.

Picture Text

Ratu Saba' sangat terkesan ketika ia melihat istana Sulaiman dan ia berserah diri kepada Allah bersama Sulaiman.

Sebuah peta yang menunjukkan jalur perjalanan ratu Saba'.

Bawah: Miniatur Haikal Sulaiman. Setelah Haikal Sulaiman dihancurkan, satu-satunya dinding kuil yang tersisa diubah menjadi “Tembok Ratapan” oleh bangsa Yahudi. Setelah penaklukan Yerusalem selama abad ke-7, kaum Muslim membangun Masjid Umar (Masjid Al-Aqsha) dan Kubah Batu (Dome of the Rock) di tempat kuil tersebut dahulunya berada.

Pada gambar di sebelah kiri tampak Kubah Batu.

Haikal Sulaiman memiliki teknologi yang paling maju saat itu dan pemahaman estetika yang unggul. Pada gambar di atas ditunjukkan pusat kota Jerusalem selama masa pemerintahan Nabi Sulaiman.

1) Pintu barat daya,

2) Istana ratu,

3) Istana Sulaiman,

4) Gerbang masuk dengan 32 pilar,

5) Gedung pengadilan,

6) Hutan Libanon,

7) Kediaman pendeta tingkat tinggi,

8) Pintu masuk ke kuil,

9) Alun-alun kuil,

10) Haikal Sulaiman.

Kaum Saba' dan Banjir Arim

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 15-16) !

Masyarakat Saba’ adalah satu di antara empat peradaban terbe-sar yang pernah hidup di Arabia Selatan. Kaum ini diperkira-kan berkembang sekitar tahun 1000-750 SM dan musnah sekitar tahun 550 M, setelah serangan-serangan selama dua abad dari bangsa Persia dan Arab.

Masa keberadaan peradaban Saba’ banyak diperbincangkan. Kaum Saba' mulai mencatat laporan pemerintahannya sekitar 600 SM. Karena itulah tidak terdapat catatan tentang mereka sebelum tahun tersebut.

Sumber tertua yang menyebutkan tentang kaum Saba’ adalah catatan perang tahunan yang berasal dari masa raja Asiria Sargon II (722-705 SM). Kala mencatat bangsa-bangsa yang membayar pajak kepadanya, Sargon juga menyebutkan raja Saba’, Yith’i-amara (It’amara). Catatan ini meru-pakan sumber tertulis tertua yang memberikan informasi tentang per-adaban Saba’. Namun, tidak terlalu tepat untuk menarik kesimpulan bah-wa kebudayaan Saba’ dibangun sekitar 700 SM hanya berdasarkan data ini, karena sangat mungkin kaum Saba’ telah ada lama sebelum tercatat dalam catatan tertulis. Artinya, sejarah Saba’ mungkin lebih awal dari waktu di atas. Memang, dalam prasasti Arad-Nannar, salah satu raja terakhir dari negara Ur, digunakan kata “Sabum” yang diperkirakan berarti “negeri Saba’”.39 Jika kata ini benar-benar berarti Saba', maka ini berarti sejarah Saba’ mundur sampai sejauh 2500 SM.

Sumber-sumber sejarah yang menceritakan tentang Saba’ biasanya menyebutkannya sebagai sebuah kebudayaan, yang seperti bangsa Punisia, terutama bergerak dalam kegiatan perdagangan. Begitu pula, kaum ini memiliki dan mengatur sejumlah jalur perdagangan yang melintasi Arabia Selatan. Agar dapat membawa barang-barangnya ke Laut Tengah dan Gaza, yang berarti melintasi Arabia Selatan, orang-orang Saba’ harus mendapatkan izin dari Raja Sargon II, penguasa selu-ruh wilayah tersebut, atau membayar pajak dengan jumlah tertentu kepa-danya. Begitu kaum Saba’ mulai membayar pajak kepada kerajaan Asiria, nama mereka mulai tercatat dalam sejarah negeri ini.

Kaum Saba’ telah dikenal sebagai orang-orang yang beradab dalam sejarah. Dalam prasasti para penguasa Saba’ sering digunakan kata-kata seperti “memperbaiki”, “mempersembahkan”, dan “membangun”. Ben-dungan Ma’rib, yang merupakan salah satu monumen terpenting kaum ini, adalah indikasi penting dari tingkatan teknologi yang telah diraih oleh kaum ini. Namun, ini tidak berarti bahwa kekuatan militer Saba’ lemah; bala tentara Saba’ adalah salah satu faktor terpenting yang menyokong ketahanan kebudayaan mereka dalam jangka waktu demikian lama tanpa keruntuhan.

Negara Saba’ memiliki salah satu bala tentara terkuat di kawasan ter-sebut. Negara mampu melakukan politik ekspansi berkat angkatan ber-senjatanya. Negara Saba’ telah menaklukkan wilayah-wilayah dari nega-ra Qataban Lama. Negara Saba’ memiliki banyak tanah di benua Afrika. Selama abad ke-24 SM, selama ekspedisi ke Magrib, tentara Saba’ dengan telak mengalahkan tentara Marcus Aelius Gallus, Gubernur Mesir untuk Kekaisaran Romawi yang jelas-jelas merupakan negara terkuat pada ma-sa itu. Saba’ dapatlah digambarkan sebagai sebuah negara yang menerap-kan kebijakan moderat, namun tidak ragu-ragu menggunakan kekuatan jika diperlukan. Dengan kebudayaan dan militernya yang maju, negara Saba’ jelas merupakan salah satu “adi daya” di daerah tersebut kala itu.

Angkatan bersenjata Saba’ yang luar biasa kuat ini juga digambarkan di dalam Al Quran. Sebuah ungkapan dari para komandan tentara Saba’ yang diceritakan dalam Al Quran menunjukkan besarnya rasa percaya diri yang dimiliki oleh bala tentara ini. Para komandan berkata kepada sang ratu:

”Kita adalah orang-orang yang memiliki kekuatan dan (juga) memi-liki keberanian yang sangat (dalam peperangan), dan keputusan ber-ada di tanganmu; maka pertimbangkanlah apa yang akan kamu perintahkan.” (QS. An-Naml, 27: 33) !

Ibu kota negara Saba’ adalah Ma’rib yang sangat makmur berkat letak geografisnya yang sangat menguntungkan. Ibu kota ini sangat dekat de-ngan Sungai Adhanah. Titik di mana sungai mencapai Jabal Balaq sangat tepat untuk membangun sebuah bendungan. Dengan memanfaatkan keadaan ini, kaum Saba’ membangun sebuah bendungan di sana, ketika peradaban mereka pertama kali berdiri, dan memulai sistem pengairan mereka. Mereka benar-benar mencapai tingkat kemakmuran yang sangat tinggi. Ibu kota Ma’rib, adalah salah satu kota termaju saat itu. Penulis Yunani Pliny yang telah mengunjungi daerah ini dan sangat memujinya, juga menyebutkan betapa hijaunya kawasan ini.40

Bendungan di Ma’rib tingginya 16 meter, lebarnya 60 meter dan pan-jangnya 620 meter. Berdasarkan perhitungan, total wilayah yang dapat diairi oleh bendungan ini adalah 9.600 hektar, dengan 5.300 hektar terma-suk dataran bagian selatan dan sisanya termasuk dataran sebelah barat. Dua dataran ini disebutkan sebagai “Ma’rib dan dua dataran“ dalam prasasti Saba’.41 Ungkapan dalam Al Quran, “dua buah kebun di sisi kiri dan kanan“, menunjukkan kebun-kebun dan kebun anggur yang menge-sankan di kedua lembah ini. Berkat bendungan ini dan sistem pengairan-nya, daerah ini menjadi terkenal sebagai kawasan berpengairan terbaik dan paling menghasilkan di Yaman. J. Holevy dari Prancis dan Glaser dari Austria membuktikan dari berbagai dokumen tertulis bahwa bendungan Ma’rib telah ada sejak zaman kuno. Dalam dokumen-dokumen yang tertulis dalam dialek Himer, disebutkan bahwa bendungan ini membuat kawasan tersebut sangat produktif.

Bendungan ini diperbaiki secara besar-besaran selama abad 5 dan 6 M. Namun demikian, perbaikan-perbaikan ini tidak mampu mencegah bendungan ini dari keruntuhan pada tahun 542 M. Runtuhnya ben-dungan tersebut mengakibatkan “banjir besar Arim” yang disebutkan da-lam Al Quran serta mengakibatkan kerusakan hebat. Kebun-kebun anggur, kebun-kebun, serta ladang-ladang pertanian kaum Saba'’yang telah mereka tanami selama ratusan tahun hancur seluruhnya. Diketahui juga bahwa kaum Saba’ segera mengalami masa resesi setelah kehancur-an bendungan tersebut. Berakhirlah negara Saba’pada ujung periode yang diawali oleh hancurnya bendungan tersebut.

Banjir Arim yang Dikirim kepada Negeri Saba’

Ketika kita kaji Al Quran dengan kelengkapan data sejarah di atas, maka kita akan mengamati bahwa ada kesamaan yang sangat mendasar dalam hal ini. Keduanya, temuan arkeologis dan data sejarah membenar-kan apa yang dicatat dalam Al Quran. Sebagaimana disebutkan dalam ayat tersebut, kaum ini, yang tidak mendengarkan peringatan dari nabi mereka dan tanpa rasa syukur telah menolak keimanan, akhirnya dihu-kum dengan banjir yang mengerikan. Banjir ini digambarkan dalam Al Quran dalam ayat-ayat sebagai berikut :

“Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Allah) di tempat kediaman mereka, yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan kiri, (kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun”. Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar dan Kami ganti kedua kebun-kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr. Demikianlah Kami memberi balasan kepada mereka karena ke-kafiran mereka. Dan kami tidak menjatuhkan azab (yang demikian itu), melainkan hanya kepada orang-orang yang sangat kafir.” (QS Saba’, 34: 15-17). !

Sebagaimana ditekankan dalam ayat-ayat diatas, kaum Saba’ yang hidup di suatu daerah yang diberkahi dengan kebun-kebun dan kebun-kebun anggur yang subur dan luar biasa indah. Karena terletak di jalur perdagangan, negeri Saba’ memiliki standar kehidupan yang sangat tinggi dan menjadi salah satu kota yang disukai pada masa itu.

Di sebuah negeri dengan standar kehidupan dan keadaan yang sa-ngat bagus, yang seharusnya dilakukan oleh Kaum Saba’ adalah “Makan-lah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya” sebagaimana disebutkan dalam ayat di atas. Namun, mereka tidak melakukannya. Mereka memilih untuk mengklaim kemakmuran itu sebagai milik mereka. Mereka menganggap negeri itu adalah milik mereka sendiri, bahwa merekalah yang menjadikan semua keadaan yang luar biasa tersebut ada. Mereka memilih untuk menjadi sombong bukan-nya bersyukur, dan dalam ungkapan ayat tersebut, mereka “berpaling dari Allah”…

Karena mereka mengaku-aku bahwa semua kekayaan adalah milik mereka, maka mereka pun kehilangan semua yang mereka miliki.

Di dalam Al Quran, azab yang dikirimkan kepada kaum Saba’ dina-makan “Sail Al Arim” yang berarti “banjir Arim”. Ungkapan yang di-gunakan dalam Al Quran ini juga menceritakan kepada kita bagaimana bencana ini terjadi. Kata “Arim” berarti bendungan atau rintangan. Ungkapan “Sail Al-Arim” menggambarkan banjir yang datang dengan runtuhnya bendungan ini. Para pengamat Islam telah menetapkan waktu dan tempat kejadian dengan dipandu ungkapan yang digunakan dalam Al Quran tentang banjir Arim. Maududi menulis dalam komentarnya:

Sebagaimana digunakan pula dalam ungkapan Sail Al Arim, kata “Arim” diturunkan dari kata “arimen” yang digunakan dalam dialek Arab Selatan yang berarti “bendungan, rintangan”. Dalam reruntuhan yang terungkap dalam penggalian yang dilakukan di Yaman, kata tersebut tampaknya sering digunakan dalam pengertian ini. Misalnya, dalam prasasti yang dipesan oleh Ebrehe (Abrahah), raja Yaman Habesh, setelah perbaikan dinding Ma'rib yang besar pada tahun 542 dan 543 M, kata ini berkali-kali digunakan untuk mengartikan bendungan. Jadi, ungkapan sail al-Arim berarti “sebuah ben-cana banjir yang terjadi setelah runtuhnya sebuah bendungan.”

“Kami ganti kedua kebun mereka dengan dua kebun yang ditumbuhi (pohon-pohon) yang berbuah pahit, pohon Atsl dan sedikit dari pohon Sidr.” (QS. Saba’, 34: 16). Yakni, setelah runtuhnya dinding bendungan, seluruh negeri digenangi banjir. Saluran-saluran yang telah digali oleh kaum Saba’ serta dinding yang telah didirikan dengan membangun perintang di antara gunung-gunung tersebut runtuh, dan sistem pengairan pun hancur be-rantakan. Akibatnya, kawasan yang seperti kebun tersebut berubah menjadi hutan. Tidak ada lagi buah yang tersisa kecuali buah seperti ceri dari pepohonan kecil bertunggul. 42

Werner Keller, seorang ahli arkeologi Kristen penulis buku Und die Bible Hat Doch Recht (Alkitab Terbukti Benar), setuju bahwa banjir Arim terjadi sebagaimana digambarkan dalam Al Quran dan menulis bahwa keberadaan bendungan semacam itu dan kehancuran seluruh negeri ka-rena keruntuhannya membuktikan bahwa contoh yang diberikan dalam Al Quran tentang kaum pemilik kebun-kebun tersebut adalah benar adanya .43

Setelah bencana banjir Arim, daerah tersebut mulai berubah menjadi padang pasir dan kaum Saba’ kehilangan sumber pendapatan mereka yang terpenting dengan hilangnya lahan pertanian mereka. Kaum terse-but, yang tidak mengindahkan seruan Allah untuk beriman dan ber-syukur kepada-Nya, akhirnya diazab dengan sebuah bencana seperti ini. Setelah kehancuran besar yang disebabkan oleh banjir, kaum tersebut mulai terpecah-belah. Kaum Saba’ mulai meninggalkan rumah-rumah mereka dan berpindah ke Arab Selatan, Makkah, dan Syria. 44

Karena banjir tersebut terjadi setelah penyusunan Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru, peristiwa ini hanya disebutkan di dalam Al Quran.

Kota Ma'rib yang pernah dihuni oleh Kaum Saba’, namun sekarang hanyalah reruntuhan yang terpencil, tidak diragukan lagi merupakan peringatan bagi mereka yang mengulangi kesalahan yang sama sebagai-mana kaum Saba’. Kaum Saba’ bukanlah satu-satunya kaum yang di-hancurkan oleh banjir. Dalam Al Quran surat Al Kahfi diceritakan kisah dua pemilik kebun. Salah satunya memiliki kebun yang sangat mengesankan dan menghasilkan seperti yang dimiliki oleh kaum Saba’. Namun, ia pun melakukan kesalahan serupa sebagaimana mereka: ber-paling dari Allah. Ia mengira anugerah yang dilimpahkan kepadanya “dimilikinya” sendiri, yakni ialah penyebab semua itu:

“Dan berikanlah kepada mereka sebuah perumpamaan dua orang laki-laki, kami jadikan bagi seorang di antara keduanya (yang kafir) dua buah kebun anggur dan Kami kelilingi kedua kebun itu dengan pohon-pohon kurma dan di antara kedua kebun itu Kami buatkan ladang. Kedua buah kebun itu menghasilkan buahnya, dan kebun itu tiada kurang buahnya sedikit pun, dan Kami alirkan sungai di celah-celah kedua kebun itu, dan dia mempunyai kekayaan yang besar, maka ia berkata kepada kawannya (yang mukmin) ketika ia ber-cakap-cakap dengan dia: “Hartaku lebih banyak dari hartamu dan pengikut-pengikutku lebih kuat.” Dan dia memasuki kebunnya se-dang dia zalim kepada dirinya sendiri; Ia berkata: ”Aku kira kebun ini tidak akan binasa selama-lamanya, dan aku tidak mengira hari kiamat itu akan datang, dan jika sekiranya aku dikembalikan kepa-da Tuhanku, pasti aku akan mendapat kembali tempat yang lebih baik daripada kebun-kebun itu”. Kawannya (yang mukmin) berkata kepadanya sedang dia bercakap-cakap dengannya: “Apakah kamu kafir kepada (Tuhan) yang menciptakan kamu dari tanah, kemudian dari setetes air mani, lalu Dia menjadikan kamu seorang laki-laki yang sempurna?. Tetapi aku (percaya bahwa): Dialah Allah, Tuhan-ku dan aku tidak mempersekutukan seorang pun dengan Tuhanku. Dan mengapa kamu tidak mengatakan waktu kamu memasuki ke-bunmu “Masya Allah - tidak ada kekuatan kecuali dengan (perto-longan) Allah?”. Jika kamu anggap aku lebih kurang daripada kamu dalam hal harta dan anak, maka mudah-mudahan Tuhanku akan memberi kepadaku (kebun) yang lebih baik daripada kebunmu (ini); dan mudah-mudahan Dia mengirimkan ketentuan (petir) dari langit kepada kebun-kebunmu, hingga (kebun itu) men-jadi tanah yang licin; atau airnya menjadi surut ke dalam tanah, maka sekali-kali kamu tidak dapat menemukannya lagi”. Dan harta kekayaannya dibinasakan, lalu ia membolak-balikkan kedua tangannya (tanda menyesal) terhadap biaya yang telah dibelan-jakannya untuk itu, sedang pohon anggur itu roboh bersama para-paranya dan dia berkata: “Aduhai kiranya dahulu aku tidak mem-persekutukan seorang pun dengan Tuhanku”. Dan tidak ada bagi dia segolongan pun yang akan menolongnya selain Allah; dan sekali-kali ia tidak dapat membela dirinya. Di sana pertolongan itu hanya dari Allah Yang Hak. Dia adalah sebaik-baik Pemberi Pahala dan sebaik-baik Pemberi Balasan.” (QS. Al Kahfi, 18: 32-44). !

Sebagaimana dapat dipahami dari ayat-ayat ini, kesalahan yang di-lakukan oleh pemilik kebun bukanlah mengingkari keberadaan Allah. Ia tidak mengingkari keberadaan Allah, sebaliknya ia mengira bahwa “meskipun jika dikembalikan kepada Tuhannya” ia tentu akan menda-patkan balasan yang lebih baik. Ia meyakini bahwa keadaan yang diala-minya, hanyalah disebabkan oleh usaha-usahanya sendiri yang sukses.

Sebenarnya, ini persis maknanya dengan mempersekutukan Allah: mencoba untuk mengaku-aku atas segala sesuatu milik Allah dan hilang-nya rasa takut seseorang kepada Allah karena menganggap bahwa sese-orang memiliki keagungan tertentu dari dirinya sendiri, dan Allah bagai-manapun akan “menunjukkan kemurahan” pada seseorang.

Inilah yang juga dilakukan oleh kaum Saba’, hukuman mereka adalah sama - semua daerah kekuasaannya hancur - sehingga mereka dapat memahami bahwa mereka bukanlah “pemilik “ kekuatan tetapi kekuatan itu hanyalah “dikaruniakan” kepada mereka....

Picture Text

Prasasti yang tertulis dalam bahasa bangsa Saba'.

Dengan Bendungan Ma'rib yang telah mereka bangun dengan teknologi yang sangat maju, kaum Saba' memiliki sistem pengairan berkapasitas besar. Lalu, tanah subur yang mereka peroleh dan penguasaan mereka atas jalur perdagangan memungkinkan mereka memiliki gaya hidup yang luar biasa dan mewah. Namun, mereka kemudian “berpaling” dari Allah, padahal kepada-Nya mereka seharusnya bersyukur atas semua kemurahan itu. Karenanya, bendungan mereka pun runtuh dan “banjir Arim” menghancurkan semua pencapaian mereka.

Saat ini, bendungan kaum Saba' yang terkenal kembali menjadi fasilitas pengairan.

Bendungan Ma'rib yang tampak sebagai reruntuhan di atas adalah salah satu karya terpenting dari kaum Saba'. Bendungan ini runtuh dikarenakan banjir Arim yang disebutkan dalam Al Quran dan semua daerah pertaniannya tergenang. Karena wilayahnya hancur dengan runtuhnya bendungan, negara Saba' kehilangan kekuatan ekonominya dalam waktu yang sangat singkat dan segera runtuh.

Al Quran menceritakan kepada kita bahwa Ratu Saba' dan kaumnya “menyembah matahari selain menyembah Allah” sebelum ia mengikuti Sulaiman. Informasi dari berbagai prasasti membenarkan kenyataan ini dan menunjukkan bahwa mereka menyembah matahari dan bulan dalam kuil-kuil mereka, salah satunya tampak pada gambar di atas. Dalam pilar-pilar, terdapat prasasti yang tertulis dalam bahasa Saba'.

FIR’AUN YANG DITENGGELAMKAN

“(Keadaan mereka) serupa dengan keadaan Fir’aun

dan pengikut-pengikutnya serta orang-orang yang sebelumnya. Mereka mendustakan ayat-ayat Tuhannya maka Kami membinasakan mereka disebabkan dosa-dosanya dan Kami tenggelamkan Fir’aun dan pengikut-pengikutnya; dan kesemuanya adalah orang-orang yang zalim.” (QS. Al Anfaal, 8: 54). !

Peradaban Mesir Kuno, bersama negara-negara kota lainnya di Mesopotamia dalam masa yang sama, dikenal sebagai salah satu peradaban tertua di dunia dan dikenal sebagai negara terorganis-asi dengan tatanan sosial paling maju di zamannya. Fakta bahwa mereka telah menemukan dan menggunakan tulisan sekitar alaf ke-3 SM, serta memanfaatkan Sungai Nil dan terlindung dari berbagai bahaya dari luar berkaitan dengan kondisi alamiah negeri tersebut, sangat berarti bagi bangsa Mesir untuk peningkatan peradaban mereka.

Namun, pada masyarakat yang “beradab” ini pula berlaku “pemerin-tahan Fir’aun”, suatu sistem kekafiran yang paling jelas dan lugas dise-butkan dalam Al Quran. Mereka penuh kesombongan, mengesamping-kan kebenaran, dan menghina Tuhan. Dan pada akhirnya, peradaban me-reka yang maju, tatanan sosial politik, bahkan militer mereka yang kuat tidak bisa menyelamatkan mereka dari kehancuran.

Otoritas Para Fir'aun

Peradaban bangsa Mesir bersumber dari kesuburan Sungai Nil. Bang-sa Mesir menghuni Lembah Nil karena melimpahnya air di sungai ini, hingga mereka dapat mengolah tanah dengan persediaan air dari sungai tanpa tergantung kepada musim hujan. Ahli sejarah Ernest H. Gombrich menyatakan dalam tulisannya bahwa Afrika sangat panas dan terkadang tidak ada hujan selama berbulan-bulan. Karena itulah, banyak wilayah di benua besar ini luar biasa keringnya. Bagian-bagian itu dihampari oleh lautan pasir yang sangat luas. Kedua sisi Sungai Nil juga ditutupi pasir dan di Mesir pun jarang turun hujan. Namun di negeri ini, hujan tidak terlalu dibutuhkan karena Sungai Nil mengalir tepat di tengah seluruh negeri.33

Jadi barang siapa dapat menguasai Sungai Nil yang begitu penting-nya, dia pun dapat menguasai sumber terbesar perdagangan dan per-tanian Mesir. Para Fir’aun bisa melanggengkan dominasinya atas Mesir dengan jalan ini.

Lembah Nil yang sempit dan memanjang tidak memungkinkan unit-unit kependudukan yang bertempat di sekitar sungai berkembang ba-nyak. Karena itulah bangsa Mesir membentuk peradaban yang terbangun dari kota-kota kecil dan perkampungan, bukan dari kota-kota besar. Faktor ini juga memperkuat dominasi para fir’aun atas masyarakatnya.

Raja Menes dikenal sebagai fir’aun Mesir pertama yang menyatukan seluruh Mesir Kuno untuk pertama kalinya dalam sejarah dalam sebuah negara kesatuan, kurang lebih pada alaf ke-3 SM. Kenyataannya, istilah “fir’aun” semula merujuk kepada istana raja Mesir, namun perlahan-lahan menjadi gelar dari raja-raja Mesir. Begitulah sebabnya raja yang memerintah Mesir kuno mulai disebut ”fir’aun”.

Sebagai pemilik, pengatur dan penguasa dari keseluruhan negara dan wilayah-wilayahnya, para fir’aun ini dianggap sebagai pengejawan-tahan dari dewa terbesar dalam kepercayaan Mesir Kuno yang politeistik dan menyimpang. Administrasi tanah rakyat Mesir, pembagian, penda-patan mereka, singkatnya, seluruh pertanian, jasa, dan produksi dalam batas-batas wilayah negara dikelola atas nama fir’aun.

Absolutisme dalam rezim tersebut melengkapi pemerintahan fir’aun dengan kekuasaan yang memungkinkannya melakukan apa pun yang ia inginkan. Pada saat penegakan dinasti pertama, kala Menes yang menjadi raja Mesir pertama dengan menyatukan Mesir Hulu dan Hilir, Sungai Nil disalurkan kepada penduduk melalui saluran-saluran air. Di samping itu, seluruh produksi berada di bawah kontrol dan seluruh barang dan jasa diberikan untuk sang raja. Rajalah yang mendistri-busikan dan membagi barang dan jasa dalam proporsi yang dibutuhkan rakyat. Hal ini tidaklah sulit bagi raja, yang telah menggalang kekuasaan sedemikian besar di negeri itu, untuk menekan rakyat dalam ketun-dukan. Raja Mesir, atau kelak disebut fir’aun, dipandang sebagai makhluk suci yang memegang kekuasaan besar dan mencukupi semua kebutuhan rakyatnya: dan ia dipandang sebagai tuhan. Akhirnya, para fir’aun percaya bahwa mereka memang tuhan.

Perkataan Fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran dan diucapkan-nya dalam percakapan dengan Musa membuktikan bahwa mereka me-megang kepercayaan ini. Ia mencoba mengancam Musa dengan mengata-kan: ”Sungguh jika kamu menyembah Tuhan selain aku, benar-benar aku akan menjadikan kamu salah seorang yang dipenjarakan”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 29), dan ia berkata kepada orang-orang di sekelilingnya: ”Aku tidak mengetahui tuhan bagimu selain aku”. (QS. Al Qashash, 28: 38). Ia mengatakan ini semua karena menganggap dirinya adalah tuhan.

Kepercayaan Religius

Menurut Herodotus, seorang ahli sejarah, bangsa Mesir Kuno adalah bangsa yang paling “taat” di dunia. Namun agama mereka bukanlah aga-ma kebenaran, melainkan sebuah bentuk politeisme sesat, dan mereka tidak bisa meninggalkan agama mereka yang sesat karena teguh me-megang tradisi.

Bangsa Mesir Kuno sangat dipengaruhi oleh lingkungan alam mere-ka. Keadaan alam Mesir secara sempurna melindungi negara tersebut dari serangan luar. Mesir dikelilingi gurun pasir, pegunungan, dan lautan di semua sisi. Serangan terhadap negara tersebut hanya mungkin dilaku-kan dengan dua jalan, dan sangat mudah bagi mereka untuk memperta-hankan diri. Bangsa Mesir tetap terisolasi dari dunia luar berkat faktor-faktor alam ini. Namun abad-abad yang berlalu mengubah isolasi ini menjadi kefanatikan buta. Akhirnya, bangsa Mesir memperoleh cara berpikir yang membelenggu mereka dari perkembangan dan hal-hal yang baru, serta sangat konservatif terhadap agama mereka. “Agama nenek moyang” yang sering disebutkan dalam Al Quran menjadi nilai paling penting bagi mereka.

Karena itulah Fir’aun dan para petingginya ingkar ketika Musa dan Harun mengumum-kan agama yang hak kepada mereka, dengan mengatakan:

“Apakah kamu datang kepada ka-mi untuk memalingkan kami dari apa yang kami dapati nenek mo-yang kami mengerjakannya, dan supaya kamu berdua mempu-nyai kekuasaan di muka bumi? Kami tidak akan mempercayai kamu berdua.” (QS. Yunus, 10: 78) !

Agama bangsa Mesir Kuno ber-cabang-cabang, yang terpenting adalah agama resmi negara, berba-gai kepercayaan rakyat, dan keper-cayaan terhadap kehidupan setelah kematian.

Menurut agama resmi negara, fir’aun adalah mahkluk yang suci. Dia adalah pengejawantahan dari tuhan-tuhan mereka di muka bumi dan tujuannya adalah untuk menyelenggarakan keadilan dan melin-dungi mereka di dunia.

Kepercayaan yang berkembang luas di kalangan masyarakat sangat rumit dan unsur-unsur yang berbenturan dengan kepercayaan resmi negara ditekan oleh pemerintahan para fir’aun. Pada dasarnya, mereka mempercayai banyak tuhan, dan tuhan-tuhan ini biasanya digambarkan memiliki kepala binatang dengan tubuh manusia.

Kehidupan setelah mati merupakan bagian terpenting dalam keper-cayaan bangsa Mesir. Mereka percaya bahwa roh akan terus hidup setelah jasad mati. Menurut kepercayaan ini, roh-roh orang mati dibawa oleh ma-laikat-malaikat khusus kepada Tuhan yang menjadi hakim dan 42 saksi hakim lain; sebuah timbangan diletakkan di tengah-tengah, dan hati sang roh ditimbang dengannya. Mereka yang kebaikannya lebih berat dibawa ke suatu tempat yang indah dan hidup dalam kebahagiaan, sedang mereka yang kejahatannya lebih berat dikirim ke suatu tempat di mana mereka mendapatkan siksaan yang berat. Di sana mereka disiksa selama-lamanya oleh sebuah makhluk aneh yang disebut dengan “Pemakan Kematian”.

Kepercayaan bangsa Mesir terhadap hari akhirat jelas menunjukkan kesejajaran dengan kepercayaan monoteistik dan agama yang benar. Bah-kan kepercayaan mereka kepada hari akhirat saja membuktikan bahwa agama yang benar dan wahyu telah mencapai peradaban Mesir Kuno, namun agama ini kemudian diselewengkan, dan monoteisme berubah menjadi politeisme. Seperti telah diketahui, para pemberi peringatan yang menyeru manusia untuk mengesakan Allah dan memerintahkan mereka untuk menjadi hamba-Nya, telah diutus di Mesir dari masa ke masa, sebagaimana kepada seluruh penduduk dunia pada satu masa atau masa yang lain. Salah satunya adalah Nabi Yusuf yang kehidupannya secara terperinci diceritakan dalam Al Quran. Sejarah Nabi Yusuf adalah sangat penting karena menyebutkan kehadiran Bani Israil di Mesir dan bermukimnya mereka di sana.

Sementara, dalam sumber-sumber sejarah terdapat rujukan tentang orang-orang Mesir yang menyeru manusia kepada agama-agama Mono-teistik, bahkan sebelum nabi Musa. Salah satunya adalah fir'aun yang paling menarik dalam sejarah Mesir, yakni Amenhotep IV.

Fir'aun Amenhotep IV yang Monoteistik

Fir’aun-fir’aun Mesir pada umumnya bersifat brutal, menindas, suka berperang dan bengis. Umumnya mereka menganut agama politeisme Mesir dan mendewakan diri mereka melalui agama ini.

Namun ada seorang fir’aun dalam sejarah Mesir yang sangat berbeda dengan lainnya. Fir'aun ini mempertahankan kepercayaan terhadap Pencipta tunggal dan mendapatkan perlawanan hebat dari para pendeta Ammon, yang mendapat keuntungan dari agama politeisme dan bebe-rapa prajurit yang mendukung mereka, sehingga akhirnya ia terbunuh. Fir’aun ini adalah Amenhotep IV yang mulai berkuasa di abad ke-14 SM.

Ketika dinobatkan pada tahun 1375 SM, Amenhotep IV berseberang-an dengan konservatisme dan tradisionalisme yang telah berlangsung selama berabad-abad. Hingga saat itu, struktur masyarakat dalam hu-bungan rakyat dengan istana kerajaan terus berlanjut tanpa perubahan. Masyarakat menutup pintu rapat-rapat dari peristiwa di luar dan pem-baruan agama. Konservatisme ekstrem ini, yang juga disebutkan oleh para pengembara Yunani Kuno, diakibatkan oleh kondisi geografis alam Mesir yang telah disebutkan di atas.

Agama resmi yang ditekankan para fir'aun kepada rakyat menuntut kepercayaan yang tidak terbatas dalam segala hal yang lama dan tradisi-onal. Namun Amenhotep IV tidak menganut agama resmi tersebut. Ahli sejarah Ernst Gombrich menulis:

Dia (Amenhotep IV) mengubah banyak kebiasaan yang disucikan oleh tradisi yang telah berbilang abad. Ia tidak mau menyembah berbagai tuhan kaumnya yang aneh-aneh bentuknya. Baginya hanya ada satu Tuhan yang perkasa, Aton, yang ia sembah dan tampilkan dalam bentuk matahari. Ia menyebut dirinya Akhenaton, mengikuti nama tuhannya dan memindahkan istananya di luar jangkauan para pendeta dari tuhan-tuhan yang lain ke suatu tempat yang sekarang disebut El-Amarna.34

Setelah kematian ayahnya, Amenhotep IV muda men-dapat tekanan hebat. Tekanan ini disebabkan oleh kenyataan bahwa ia mengembangkan sebuah agama yang berdasarkan monoteisme dengan mengubah agama politeistik tradisi-onal Mesir dan berupaya melakukan perubahan-perubahan radikal dalam berbagai bidang. Namun para pemimpin Thebes tidak mengizinkannya menyampaikan ajaran agama ini. Amen-hotep IV dan para pengikutnya kemudian pindah dari kota Thebes dan bermukim di Tell-El-Amarna. Di sini mereka membangun sebuah kota baru dan modern yang dinamakan ”Akh-en-aton”. Amenhotep IV mengubah namanya yang berarti “Kegembiraan Amon” menjadi Akh-en-aton yang berarti “Tunduk kepada Aton”. Amon adalah nama yang diberikan kepada totem terbesar dalam kepercayaan politeisme bangsa Mesir. Menurut Amenhotep, Aton adalah “pencipta langit dan bumi”, penyamaan sebutannya untuk Allah.

Karena merasa terganggu oleh perkembangan ini, para pendeta Ammon berkeinginan merenggut kekuatan Akhenaton dengan mengambil kesempatan dari terjadinya krisis ekonomi di Mesir. Akhenaton akhirnya mati diracun oleh komplotan itu. Para fir’aun setelahnya berhati-hati untuk tetap berada di bawah pengaruh para pendeta tersebut.

Setelah Akhenaton, berkuasa para fir’aun dengan latar belakang ke-militeran. Mereka membuat tersebarnya kembali politeisme dari tradisi lama dan berusaha keras untuk kembali ke masa lalu. Hampir seabad kemudian, Ramses II, yang paling lama kekuasaannya dalam sejarah Mesir, diangkat menjadi raja. Menurut banyak ahli sejarah, Ramses ada-lah fir’aun yang menyiksa bani Israil dan berperang melawan Nabi Musa.35

Kedatangan Nabi Musa

Karena begitu hebatnya kefanatikan mereka, bangsa Mesir Kuno ti-dak mau meninggalkan kepercayaan mereka yang tertanam kuat. Walau telah datang kepada mereka beberapa orang yang menyerukan untuk me-nyembah Allah semata, kaum Fir’aun selalu berpaling kepada keper-cayaan mereka yang sesat. Akhirnya, Nabi Musa diutus Allah sebagai rasul bagi mereka, selain karena mereka telah mengambil sistem penuh kepalsuan yang bertentangan dengan agama yang hak, juga karena mere-ka telah melakukan perbudakan atas Bani Israel. Musa diperintahkan untuk mengajak bangsa Mesir kepada agama yang hak, juga menye-lamatkan Bani Israil dari perbudakan dan menunjuki mereka jalan yang benar. Dalam Al Quran hal ini disebutkan:

“Kami membacakan kepadamu sebagian dari kisah Musa dan Fir'-aun dengan benar untuk orang-orang yang beriman. Sesungguhnya Fir'aun telah berbuat sewenang-wenang di muka bumi dan menjadi-kan penduduknya berpecah belah, dengan menindas segolongan dari mereka, menyembelih anak laki-laki mereka dan membiarkan hidup anak-anak perempuan mereka. Sesungguhnya Fir'aun termasuk ke dalam orang-orang yang berbuat kerusakan. Dan Kami hendak mem-beri karunia kepada orang-orang yang tertindas di bumi (Mesir) itu dan hendak menjadikan mereka pemimpin dan menjadikan mereka orang-orang yang mewarisi (bumi), dan akan Kami teguhkan kedu-dukan mereka di muka bumi dan akan Kami perlihatkan kepada Fir’aun dan Haman beserta tentaranya apa yang selalu mereka khawatirkan dari mereka itu.” (QS. Al Qashash, 28: 3-6) !

Fir'aun ingin mencegah bertambahnya Bani Israil dengan cara mem-bunuh semua bayi laki-laki yang baru lahir. Karena itulah, dengan ilham dari Allah SWT, ibunda Musa menempatkan Musa ke dalam sebuah ke-ranjang dan menghanyutkannya ke sungai. Hal inilah yang membawa-nya ke istana Fir'aun. Inilah ayat dalam Al Quran yang menyebutkan hal ini:

“Dan Kami ilhamkan kepada ibu Musa; ”Susukanlah dia dan apabila kamu khawatir terhadapnya maka jatuhkanlah dia ke dalam sungai (Nil). Dan janganlah kamu khawatir dan janganlah (pula) bersedih hati, karena sesungguhnya Kami akan mengembalikannya kepada-mu, dan menjadikannya (salah seorang) dari para rasul. Maka dipu-ngutlah ia oleh keluarga Fir'aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka. Sesungguhnya Fir'aun dan Haman beser-ta tentara-tentaranya adalah orang-orang yang bersalah.”

Dan berkatalah istri Fir’aun: ”(Ia) biji mata bagiku dan bagimu. Ja-nganlah kamu membunuhnya, mudah-mudahan ia bermanfaat bagi kita atau kita ambil ia menjadi anak”, sedangkan mereka tiada menyadari.” (QS. Al Qashash, 28 : 7-9) !

Istri Fir’aun mencegah Musa dibunuh dan mengangkatnya menjadi anak. Begitulah, Musa menghabiskan masa kecilnya di istana Fir'aun. Dengan pertolongan Allah, ibu kandung Musa dibawa ke istana sebagai ibu asuhnya.

Ketika telah dewasa, suatu hari Musa melihat seorang Bani Israil dianiaya oleh seorang Mesir. Lalu Musa menengahi dan memukul si orang Mesir dengan satu pukulan yang ternyata mengakibatkan kema-tiannya. Walau Musa hidup di istana Fir’aun dan telah diangkat anak oleh permaisuri, pimpinan kota memutuskan hukuman mati untuk Musa. Mendengar ini, Musa pun melarikan diri dari Mesir dan pergi ke Madyan. Pada akhir periode yang ia habiskan di sana, Allah berfirman langsung kepadanya dan memberinya status kenabian. Ia diperintahkan kembali kepada Fir’aun dan menyampaikan risalah Allah kepadanya.

Istana Fir’aun

Musa dan Harun pergi kepada Fir’aun untuk menjalankan perintah Allah dan menyampaikan kepadanya risalah agama kebenaran. Mereka meminta Fir’aun berhenti menyiksa bani Israel dan membiarkan mereka pergi bersama Musa dan Harun. Fir'aun tak dapat menerima kenyataan bahwa Musa yang telah dipeliharanya bertahun-tahun dan kemungkin-an besar menjadi pewaris tahtanya kelak, menentangnya dan berbicara kepadanya seperti itu. Dengan alasan itu, Fir’aun menuduh Musa tidak tahu berterima kasih:

“Fir'aun menjawab: ”Bukankah kami telah mengasuhmu di dalam (keluarga) kami, waktu kamu masih kanak-kanak dan kamu tinggal bersama kami beberapa tahun dari umurmu, dan kamu telah berbuat suatu perbuatan yang telah kamu lakukan itu dan kamu termasuk golongan orang-orang yang tidak membalas guna”. (QS. Asy-Syu'araa’, 26: 18-19) !

Fir’aun mencoba mempermainkan perasaan Musa dan mempenga-ruhi kata hatinya. Seolah ia mengatakan bahwa karena ia dan istrinyalah yang telah membesarkan Musa, maka Musalah yang seharusnya mema-tuhi mereka. Apalagi, Musa telah membunuh seorang Mesir. Semua tin-dakan ini diganjar dengan hukuman berat menurut bangsa Mesir. Suasa-na emosional yang coba diciptakan Fir’aun juga ditujukan untuk mempe-ngaruhi para pemimpin dari rakyatnya, sehingga mereka pun menyetujui Fir’aun.

Di sisi lain, risalah agama kebenaran yang disampaikan Musa mengurangi kekuasaan Fir'aun dan menurunkan derajatnya setingkat orang-orang kebanyakan. Selanjutnya, akan terungkap bahwa ia bukan-lah tuhan dan lebih jauh lagi, ia akan harus tunduk kepada Musa. Di samping itu, jika ia membebaskan bani Israil, ia akan kehilangan banyak tenaga kerja penting dan akan menimbulkan bahaya besar.

Karena semua itulah, Fir’aun tidak mau mendengarkan Musa. Ia mencoba mempermainkannya dan berusaha mengubah pokok pembica-raan dengan mengajukan pertanyaan yang tidak berarti. Ia sekaligus mencoba untuk mencitrakan Musa dan Harun sebagai pembuat keonaran dan menuduh mereka mempunyai motif-motif politik tertentu. Akhir-nya, baik Fir’aun maupun para pemimpin kaum serta para pembesarnya, kecuali para tukang sihir, menolak Musa dan Harun. Mereka menging-kari agama kebenaran yang ditunjukkan kepada mereka. Itulah sebabnya Allah pertama-tama mengirimkan berbagai bencana kepada mereka.

Bencana yang Menimpa Fir'aun dan Para Pembesarnya

Fir’aun dan para pembesarnya sangat terikat terhadap politeisme dan keberhalaan, “agama leluhur mereka”, sehinga tidak terpikirkan oleh mereka untuk meninggalkannya. Bahkan dua mukjizat Musa, tangannya yang mengeluarkan sinar putih serta tongkatnya yang berubah menjadi ular, tidaklah cukup untuk membuat mereka untuk berpaling dari takhyul mereka. Lebih-lebih lagi, mereka mengungkapkan hal ini secara terbuka. Mereka berkata: ”Bagaimanapun kamu mendatangkan keterangan kepada kami untuk menyihir kami dengan keterangan itu, maka kami sekali-kali tidak akan pernah beriman kepadamu”. (QS Al A’raaf, 7: 132).

Karena sikap mereka, Allah mengirimkan sejumlah bencana kepada mereka sebagai “mukjizat tersendiri” untuk membuat mereka merasa-kan azab di dunia, sebelum siksaan abadi di alam keabadian. Pertama-tama mereka diberi masa kekeringan panjang dan paceklik. Berkaitan dengan ini dikatakan dalam Al Quran: ”Dan sesungguhnya Kami telah menghukum (Fir'aun dan) kaumnya dengan (mendatangkan) musim kemarau yang panjang dan kekurangan buah-buahan supaya mereka mengambil pelajaran.” (QS. Al A'raaf, 7: 130).

Sistem pertanian Bangsa Mesir berbasis pada Sungai Nil dan karena itu, mereka tidak terpengaruh oleh perubahan keadaan alam. Namun se-buah bencana yang tak terduga menimpa mereka karena Fir’aun dan kalangan dekatnya yang sombong dan angkuh terhadap Allah dan mengingkari Rasul-Nya. Kemungkinan besar, dengan berbagai sebab, permukaan Sungai Nil menyusut secara mencolok dan saluran irigasi yang berasal dari sungai tidak mampu mengalirkan air yang cukup untuk lahan pertanian mereka. Panas yang menyengat menyebabkan tanaman pertanian mengering. Dengan demikian, bencana menimpa Fir’aun dan lingkaran dekatnya dari arah yang sama sekali tidak terduga, dari Sungai Nil yang mereka andalkan. Musim kemarau yang berkepanjangan men-cemaskan hati Fir’aun yang sebelumnya biasa berkata kepada kaumnya sebagai berikut: ”Hai kaumku, bukankah kerajaan Mesir ini kepunyaanku dan (bukankah) sungai-sungai ini mengalir di bawahku; maka apakah kamu tidak melihat(nya)?” (QS. Az-Zukhruf, 43: 51).

Namun, bukannya memberi perhatian sebagaimana ditunjukkan ayat-ayat tersebut, mereka malahan menganggap semua kejadian ter-sebut karena kesialan yang dibawa oleh Musa dan bani Israil. Mereka dikuasai oleh keyakinan seperti itu karena kepercayaan takhyul dan agama leluhur mereka. Karenanya, mereka memilih untuk menderita oleh bencana yang hebat. Namun, yang menimpa mereka tidaklah ter-batas sampai di sini. Ini hanyalah permulaan. Selanjutnya, Allah me-ngirimkan kepada mereka serangkaian bencana lain. Bencana-bencana ini disebutkan sebagai berikut dalam Al Quran: :

“Maka Kami kirimkan kepada mereka taufan, belalang, kutu, katak dan darah sebagai bukti yang jelas, tetapi mereka tetap menyom-bongkan diri dan mereka adalah kaum yang berdosa”. (QS. Al A’raaf, 7: 133) !

Bencana-bencana yang dikirimkan Allah terhadap Fir’aun dan orang-orang ingkar di sekitarnya disebutkan pula dalam Perjanjian Lama seba-gaimana dalam Al Quran :

“Dan di seluruh tanah Mesir ada darah. (Keluaran, 7: 21)

Jika engkau menolak membiarkannya pergi, maka Aku akan menu-lahi seluruh daerahmu dengan katak. Katak-katak akan mengeriap dalam Sungai Nil, lalu naik dan masuk ke dalam istanamu dan ka-mar tidurmu, ya, dan sampai ke dalam tempat tidurmu, ke dalam rumah pegawai-pegawaimu, dan rakyatmu, bahkan ke dalam pem-bakaran rotimu serta ke dalam tempat adonanmu. (Keluaran, 8: 2-3)

Berfirmanlah Tuhan kepada Musa, “Katakanlah kepada Harun: Ulurkanlah tongkatmu dan pukulkanlah itu ke debu tanah, maka debu itu akan menjadi nyamuk di seluruh tanah Mesir.” (Keluaran, 8: 16)

Datanglah belalang meliputi seluruh tanah Mesir, dan hinggap di seluruh daerah Mesir, sangat banyak; sebelum itu tidak pernah ada belalang yang demikian banyaknya dan sesudah itu pun tidak akan terjadi lagi yang demikian. (Keluaran, 10: 14)

Lalu berkatalah para ahli itu kepada Fir'aun: “Inilah tangan Allah.” Tetapi hati Fir'aun berkeras, dan ia tidak mau mendengarkan mereka seperti yang telah difirmankan Tuhan.” (Keluaran, 8: 19)

Bencana yang mengerikan terus menimpa Fir’aun dan para pembe-sarnya. Beberapa dari bencana ini disebabkan oleh objek yang disembah oleh orang-orang musyrik ini. Sebagai contoh, Sungai Nil dan katak mere-ka keramatkan dan pertuhankan. Saat mereka mengharapkan petunjuk dan meminta pertolongan dari “tuhan-tuhan” mereka, Allah menghu-kum mereka melalui “tuhan-tuhan” itu sendiri, sehingga mereka dapat melihat kesalahan mereka dan menerima ganjaran atas kesesatan yang mereka lakukan.

Menurut para penafsir Perjanjian Lama, yang dimaksud dengan “da-rah” adalah perubahan Sungai Nil menjadi merah. Hal ini dijelaskan seba-gai suatu perumpamaan bagi berubahnya Sungai Nil menjadi merah kental. Menurut sebuah penafsiran, yang mengakibatkan warna merah adalah sejenis bakteri.

Sungai Nil adalah sumber kehidupan utama bagi bangsa Mesir. Keru-sakan apa pun yang terjadi pada sumber ini dapat berarti kematian bagi seluruh Mesir. Jika bakteri telah menutupi seluruh permukaan Sungai Nil sampai mengubahnya berwarna merah, setiap mahkluk hidup yang menggunakan air tersebut akan terinfeksi oleh bakteri ini.

Penjelasan terbaru tentang penyebab merahnya warna air telah me-nunjuk protozoa, zooplankton, ganggang (fitoplankton) air asin maupun tawar, dan dinoflagellata sebagai kemungkinan besar. Semua jenis ini baik tumbuhan, jamur, ataupun protozoa mengisap oksigen dari dalam air dan menghasilkan racun yang berbahaya baik bagi ikan maupun katak.

Dengan mengutip peristiwa Eksodus dalam Kitab Injil, Patricia A Tester dari National Marine Fisheries Service yang menulis dalam Annals of the New York Academy of Science mencatat bahwa walau kurang dari 50 spesies, dari sekitar 5000 spesies fitoplankton yang dikenal, adalah be-racun, namun spesies beracun tersebut dapat membahayakan kehidupan air. Dalam terbitan yang sama, Ewen C.D. Todd dari Health Canada, dengan merujuk data sejarah dan prasejarah, mengutip hampir dua lusin contoh dari fitoplankton tertentu yang menyebabkan berbagai wabah penyakit di seluruh penjuru dunia. W.W. Carmichael dan I.R. Falconer mendaftar penyakit-penyakit yang berkaitan dengan ganggang biru-hijau yang hidup di air tawar. Joann M. Burkholder, ahli Ekologi perairan dari North Carolina State University menyebutkan bahwa sejenis dinoflagellata, Pfiesteria piscimorte (ditemukan di perairan muara), seperti ditunjukkan namanya, dapat membunuh ikan .36

Di masa Fir’aun, rangkaian bencana seperti ini tampaknya terjadi. Menurut skenario ini, ketika Sungai Nil tercemar, maka ikan-ikan pun mati dan bangsa Mesir kehilangan salah satu sumber nutrisinya yang sangat penting. Tanpa ikan pemangsa, maka katak-katak dapat berkem-bang biak dengan sangat bebas di kolam-kolam dan di sungai Nil, sehing-ga melimpahi sungai, kemudian menghindari lingkungan beracun dan membusuk dengan berpindah ke daratan, hingga di sini mereka mati dan terurai bersama ikan-ikan. Sungai Nil dan tanah yang berdekatan de-ngannya membusuk, dan airnya berbahaya untuk diminum maupun digunakan untuk mandi. Terlebih lagi punahnya spesies katak menye-babkan berbagai jenis serangga seperti caplak dan kutu ber-kembang biak secara besar-besaran.

Akhirnya, bagaimanapun terjadinya bencana tersebut dan apa pun dampak yang diakibatkannya, baik Fir’aun maupun kaumnya tetap tidak berpaling kepada Allah dengan penuh perhatian, mereka malah tetap bertahan dengan keangkuhannya.

Fir’aun dan para pembesarnya begitu hipokrit, sehingga mereka me-ngira bahwa mereka dapat memperdayakan Musa dan juga, Allah. Ketika hukuman yang mengerikan menimpa mereka, mereka segera memanggil Musa dan memintanya untuk menyelamatkan mereka dari bencana tersebut:

“Dan ketika ditimpa azab (yang telah diterangkan itu) mereka pun berkata: Hai Musa, mohonkanlah untuk kami kepada Tuhanmu de-ngan (perantaraan) kenabian yang diketahui Allah ada pada sisimu. Sesungguhnya jika kamu dapat menghilangkan azab itu daripada kami pasti kami akan beriman kepadamu dan akan kami biarkan Bani Israil pergi bersamamu”. Maka setelah Kami hilangkan azab itu dari mereka hingga batas waktu yang mereka sampai kepadanya, tiba-tiba mereka pun mengingkarinya.” (QS. Al A’raaf, 7: 134-135) !

Keluar dari Mesir

Allah menerangkan kepada Fir’aun dan para pembesarnya melalui Musa apa yang seharusnya mereka perhatikan, lalu memberi peringatan kepada mereka. Sebagai tanggapan, mereka menolak dan menuduh Mu-sa kesurupan dan berdusta. Allah mempersiapkan akhir yang menghina-kan bagi mereka. Ia mengungkapkan kepada Musa apa yang akan terjadi:

“Dan Kami wahyukan (perintahkan) kepada Musa: “Pergilah di malam hari dengan membawa hamba-hamba-Ku (Bani Israil), kare-na sesungguhnya kamu sekalian akan disusuli.” Kemudian Fir’aun mengirimkan orang yang mengumpulkan (tentaranya) ke kota-kota. (Fir’aun berkata): “Sesungguhnya mereka (Bani Israil) benar-benar golongan kecil, dan sesungguhnya mereka membuat hal-hal yang me-nimbulkan amarah kita, dan sesungguhnya kita benar-benar golong-an yang selalu berjaga-jaga”. Maka Kami keluarkan Fir’aun dan ka-umnya dari taman-taman dan mata air, dan (dari) perbendaharaan dan kedudukan yang mulia, demikianlah halnya dan Kami anuge-rahkan semuanya (itu) kepada Bani Israil. Maka Fir’aun dan bala tentaranya menyusuli mereka di waktu matahari terbit. Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: “Sesungguhnya kita benar-benar akan tersusul”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 52-61) !

Dalam keadaan di mana bani Israil merasa terjebak, dan orang-orang Fir’aun mengira bahwa mereka akan segera menangkap bani Israil, Musa berkata, tanpa pernah kehilangan kepercayaan akan pertolongan Allah:

“Sekali-kali tidak akan tersusul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku”. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62) !

Pada saat itu Allah menyelamatkan Musa dan Bani Israel dengan membelah lautan. Fir’aun dan orang-orangnya tenggelam di dalam air yang menutup di atas kepala mereka setelah bani Israil menyeberang dengan selamat.

“Lalu Kami wahyukan kepada Musa: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka terbelahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan ada-lah seperti gunung yang besar. Dan di sanalah Kami dekatkan go-longan yang lain. Dan Kami selamatkan Musa dan orang-orang yang besertanya semuanya. Dan Kami tenggelamkan golongan yang lain itu Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar merupakan suatu tanda yang besar (mukjizat) dan tetapi kebanyakan dari mere-ka tidak beriman. Dan sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Dialah Yang Mahaperkasa lagi Maha Penyayang.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63-68) !

Tongkat Musa memiliki mukjizat. Allah telah mengubahnya menjadi ular dalam penyampaian wahyu yang pertama kepadanya, dan kemu-dian tongkat ini pula yang berubah menjadi ular yang menelan ular-ular jadi-jadian dari ahli sihir Fir'aun. Sekarang, Musa membelah lautan de-ngan tongkat yang sama. Inilah mukjizat terbesar yang diberikan kepada Nabi Musa.

Di Manakah Peristiwa itu Terjadi,

di Pantai Laut Tengah Mesir atau di Laut Merah?

Tidak ada kesamaan pendapat tentang tempat Musa membelah la-utan. Karena tidak ada perincian tentang hal ini di dalam Al Quran, kita tidak dapat meyakini ketepatan dari pandangan mana pun terhadapnya. Beberapa sumber menunjukkan pantai Laut Tengah di Mesir sebagai tempat lautan terbelah. Di dalam Ensiklopedia Judaica dikatakan:

Pendapat mayoritas dewasa ini mengidentifikasi Laut Merah dalam Eksodus sebagai sebuah laguna di pantai Laut Tengah.37

David Ben Gurion menyatakan bahwa peristiwa tersebut kemung-kinan terjadi dalam masa pemerintahan Ramses II, setelah kekalahan di Kadesh. Dalam Kitab Keluaran pada Perjanjian Lama, dikatakan bahwa kejadiannya adalah di Migdol dan Baal-Zephon yang terletak di sebelah utara delta. 38

Pandangan ini berdasarkan Perjanjian Lama. Dalam terjemahan Kitab Keluaran dalam Perjanjian Lama disebutkan bahwa Fir’aun dan orang-orangnya ditenggelamkan di Laut Merah. Namun menurut mereka yang berpegang pada pandangan ini, kata yang diterjemahkan sebagai “Laut Merah (Red Sea)” sebenarnya adalah “ Lautan Alang-Alang (Sea of Reeds)”. Kata ini dikenal sebagai “Laut Merah” dalam berbagai sumber dan digu-nakan untuk lokasi tersebut. Namun, “Lautan Alang-Alang” sebenarnya digunakan untuk merujuk kepada pantai Laut Tengah di Mesir. Dalam Perjanjian Lama, ketika menyebutkan jalur yang diambil oleh Musa dan para pengikutnya, kata Migdol dan Baal-Zephon disebutkan, dan tempat-tempat ini terletak di utara Delta Nil, di pantai Mesir. Sebagai implikasi-nya, Lautan Alang-Alang mendukung kemung-kinan bahwa kejadian tersebut terjadi di pantai Mesir, karena di daerah ini, sesuai dengan namanya, banyak tumbuh alang-alang berkat tanah lumpur delta.

Tenggelamnya Fir’aun dan Orang-orangnya di Lautan

Al Quran mewartakan kepada kita tentang aspek-aspek terpenting dari peristiwa terbelahnya Laut Merah. Menurut penuturan Al Quran, Musa berangkat meninggalkan Mesir bersama Bani Israil yang mema-tuhinya. Namun Fir’aun tidak dapat menerima kepergian mereka yang tanpa seizinnya. Ia dan tentaranya mengikuti mereka “dalam amarah dan dendam” (QS. Yunus, 10: 90). Begitu Musa dan Bani Israil mencapai pan-tai, Fir'aun dan bala tentaranya telah menyusul mereka. Beberapa orang Bani Israil yang melihat ini mulai mengeluh kepada Musa. Menurut Per-janjian Lama mereka berkata kepada Musa: ”Mengapa kamu membawa kami pergi dari negeri kami, di sana kami diperbudak namun dapat hidup, sekarang kita akan mati”. Kelemahan komunitas ini juga disebutkan dalam Al Quran dalam ayat berikut:

“Maka setelah kedua golongan itu saling melihat, berkatalah pengikut-pengikut Musa: ”Sesungguhnya kita benar-benar akan ter-susul.” (QS Asy-Syu’araa’, 26: 61) !

Kenyataannya, ini bukanlah pertama maupun terakhir kalinya Bani Israil menunjukkan perilaku sedemikian yang menunjukkan ketidak-patuhan mereka. Kaum Musa sebelumnya pernah mengeluh kepadanya dengan berkata:

“Kami telah ditindas (oleh Fir’aun) sebelum kamu datang kepada kami dan sesudah kamu datang. Musa menjawab: “Mudah-mudahan Allah membinasakan musuhmu dan menjadikan kamu khalifah di muka bumi(Nya), maka Allah akan melihat bagaimana perbuatanmu.” (QS. Al A’raaf, 7: 129) !

Berlawanan dengan tingkah laku umatnya yang lemah, Musa sangat percaya diri, karena ketinggian imannya kepada Allah. Semenjak awal perjuangannya, Allah telah memberitahu ia bahwa pertolongan dan du-kungan-Nya akan selalu bersama Musa:

“Janganlah kamu berdua khawatir, sesungguhnya Aku beserta kamu berdua, Aku mendengar dan melihat. Maka datanglah kamu berdua kepadanya (Fir’aun) dan katakanlah: “Sesungguhnya kami berdua adalah utusan Tuhanmu, maka lepaskanlah Bani Israil bersama ka-mi dan janganlah kamu menyiksa mereka. Sesungguhnya kami telah datang kepadamu dengan membawa bukti (atas kerasulan kami) dari Tuhanmu. Dan keselamatan itu dilimpahkan kepada orang yang mengikuti petunjuk.” (QS. Thaahaa, 20: 46-47) !

Ketika pertama kali bertemu dengan tukang sihir Fir’aun, Musa “me-rasa takut dalam hatinya” (QS. Thaahaa, 20: 67). Karena itu, Allah pun mewahyukan kepada Musa untuk tidak takut; ”Janganlah kamu takut, sesungguhnya kamulah yang paling unggul (menang).” (QS. Thaahaa, 20: 68). Dengan demikian, Musa dididik oleh Allah dan memperoleh kema-tangan penuh terhadap jalan-Nya. Sehingga, ketika sebagian kaumnya merasa takut akan tertangkap, ia berkata: ”Sekali-kali tidak akan tersu-sul; sesungguhnya Tuhanku besertaku, kelak Dia akan memberi petunjuk kepadaku.” (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 62)

Allah mewahyukan kepada Musa bahwa ia harus memukul lautan dengan tongkatnya: ”Pukullah lautan itu dengan tongkatmu”. Maka, ter-belahlah lautan itu dan tiap-tiap belahan adalah seperti gunung yang besar. (QS. Asy-Syu’araa’, 26: 63). Sebenarnya, pada saat Fir’aun melihat mukjizat tersebut, seharusnya ia menyadari bahwa telah terjadi suatu hal yang sangat luar biasa, dan bahwa ia sedang melihat campur tangan ilahiah. Laut terbuka bagi orang-orang yang ingin dihancurkan Fir’aun. Lebih jauh lagi, tidak ada jaminan bahwa lautan tidak akan menutup kembali setelah mereka menyeberang. Namun, ia dan bala tentaranya tetap mengejar Bani Israil ke dalam laut. Kemungkinan besar, Fir’aun dan tentaranya telah kehilangan kemampuan untuk berpikir sehat karena amarah dan kedengkian mereka, dan tidak mampu memahami mukjizat dari keadaan tersebut.

Al Quran menggambarkan saat-saat terakhir Fir’aun sebagai berikut:

“Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka di-ikuti oleh Fir'aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir'aun itu telah hampir tengge-lam berkatalah ia: ”Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melain-kan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (QS. Yunus, 10: 90) !

Kita dapat melihat mukjizat lain Nabi Musa dalam ayat berikut:

“Musa berkata: ”Ya Tuhan kami, sesungguhnya Engkau telah mem-beri kepada Fir’aun dan pemuka-pemuka kaumnya perhiasan dan harta kekayaan dalam kehidupan dunia, ya Tuhan kami, akibatnya mereka menyesatkan (manusia) dari jalan Engkau. Ya Tuhan kami, binasakanlah harta mereka dan kunci matilah hati mereka, maka mereka tidak beriman hingga mereka melihat siksaan yang pedih”. Allah berfirman: ”Sesungguhnya telah diperkenankan permohonan kamu berdua, sebab itu tetaplah kamu berdua pada jalan yang lurus dan janganlah sekali-kali kamu mengikuti jalan orang-orang yang tidak mengetahui.” (QS. Yunus, 10: 88-89) !

Dapat dipahami dengan jelas dari ayat ini bahwa Musa diberi tahu sebagai jawaban atas permintaannya bahwa Fir’aun akan percaya kepada Allah pada saat ia menghadapi azab yang pedih. Fir’aun memang berkata bahwa ia beriman kepada Allah ketika air mulai menenggelamkannya. Namun, sangat jelas bahwa perilakunya tidak tulus dan palsu. Fir’aun kemungkinan besar mengatakan ini untuk menyelamatkan diri dari kematian.

“Apakah sekarang (kamu baru percaya), padahal sesungguhnya kamu telah durhaka sejak dahulu, dan kamu termasuk orang-orang yang berbuat kerusakan. Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuatan Kami.” (QS. Yunus, 10: 91-92) !

Kita juga diwartakan bahwa orang-orang Fir'aun, sebagaimana Fir’aun sendiri, juga menerima bagian hukuman mereka. Karena bala tentara Fir’aun adalah orang-orang yang “angkara murka dan penuh kebencian” (QS. Yunus, 10: 91), “orang-orang yang berdosa” (QS. Al Qashash, 28: 8), “berlaku salah” (QS. Al Qashash, 28: 40), dan “mengira bahwa mereka tidak akan pernah kembali kepada Allah” (QS. Qashash, 28: 39) seperti halnya Fir’aun, mereka pun patut menerima hukuman dari Allah. Maka Allah pun melemparkan Fir'aun dan bala tentaranya ke dalam laut (QS. Al Qashash, 28: 40).

“Kemudian Allah menghukum mereka, dan menenggelamkan mereka di laut karena mereka mendustakan dan lalai akan ayat-ayat-Nya.” (QS. Al A’raaf, 7: 136) !

Allah menyebutkan dalam Al Quran semua yang terjadi setelah ke-matian Fir'aun :

“Dan Kami pusakakan kepada kaum yang ditindas itu, negeri-negeri bahagian timur bumi dan bahagian baratnya yang telah Kami beri berkah padanya. Dan telah sempurnalah perkataan Tuhanmu yang baik (sebagai janji) untuk Bani Israil disebabkan kesabaran mereka, dan Kami hancurkan apa yang telah diperbuat Fir’aun dan kaumnya dan apa yang telah dibangun oleh mereka.” (QS. Al A’raaf, 7: 137) !

Picture Text

Kepercayaan religius bangsa Mesir kebanyakan berdasarkan kepada pengabdian terhadap tuhan-tuhan mereka. ”Perantara” antara tuhan-tuhan ini dengan manusia adalah para pendeta yang merupakan bagian dari para pemuka masyarakat. Karena berurusan dengan ilmu magis dan sihir, para pendeta menjadi kelas penting yang digunakan oleh para fir’aun untuk menjaga kepatuhan rakyatnya.

Orang-orang yang di-perbudak oleh Fir'aun. Khususnya pada masa Kerajaan Baru, kaum minoritas yang hidup di negara tersebut dipaksa bekerja dalam proyek konstruksi yang sangat berat, termasuk di antaranya Bani Israel. Pada gambar atas, budak-budak yang tampak sedang bekerja dalam pembangunan sebuah kuil kemungkinan besar adalah Bani Israil. Gambar bawah menunjukkan berbagai persiapan teknis para budak, yang juga diperkirakan adalah Bani Israil, sebelum bekerja di proyek pembangunan. Para budak sedang membuat batu bata dengan membakar lumpur di dalam api dan mempersiapkan adukan semen.

Ramses II, yang diperkirakan banyak ahli sejarah sebagai fir’aun yang disebutkan dalam Al Quran, tampak sedang membunuh beberapa budak yang ia tangkap. Sebagaimana juga diungkapkan lukisan dinding ini, para fir’un mencitrakan dan menggambarkan diri mereka sebagai pejuang-pejuang yang perkasa. Mereka ditampilkan sebagai pahlawan-pahlawan tinggi berbahu lebar yang mampu mengalahkan sejumlah orang sekaligus.

Atas: Karena menganggap diri mereka mahkluk suci, para fir’aun berupaya untuk tampak lebih unggul dibanding orang-orang lain.

Kanan: Tawanan perang yang tertangkap oleh orang Mesir tampak sedang menunggu pelaksanaan hukuman mati mereka.

Ramses II tampak dalam kereta perangnya menghalau sejumlah besar pasukan musuh. Seperti juga yang lainnya, ini merupakan skenario khayalan yang digambar atas perintah Fir'aun.

Perang Kadesh. Dalam pertempuran antara Ramses dan Hitties, dipalsukan dalam sejarah bangsa Mesir sebagai kemenangan Fir'aun yang gilang gemilang. Padahal kenyataannya Fir'aun diselamatkan dari kematian pada saat-saat terakhir dan ia dipaksa untuk melakukan perdamaian.

"Maka pada hari ini Kami selamatkan badanmu supaya kamu dapat menjadi pelajaran bagi orang-orang yang datang sesudahmu dan sesungguhnya kebanyakan dari manusia lengah dari tanda-tanda kekuasaan Kami". (QS. Yunus, 10: 92) !